Doanya belum selesai. Radit meneruskan zikirnya setelah membersamai sang istri menutup ibadah salat Isyanya malam ini. Anggi merasakan kekhawatiran sang suami. Ingin sekali dirinya bertanya untuk sekadar menenangkan. Hanya saja, mungkin berkeluh kesah dengan Tuhan secara langsung adalah cara terbaik tanpa harus ikut mengusiknya. Pria sangat benci dibebani apapun saat pikirannya sedang lelah. Dulu ia pernah belajar tentang itu.
Selesai melipat mukena, Anggi sengaja menunggu di sisi ranjang. Senyumnya menyambut Radit sambil mengulurkan tangan.
"Semuanya akan baik-baik saja, Mas," pesannya.
Sebuah kecupan diberi Radit singkat. Tepat di bibir. Anggi membalasnya dengan cubitan di pundak. Kecil tapi sakit juga.
"Habis sholat, loh."
Tanpa sadar Anggi mengulum bibirnya.
"Pahala itu, Ma."
Radit memanggilnya Ma, Mama, artinya sudah mulai ada ketenangan dalam dirinya.
Sudah jam tujuh lewat lima menit, rencananya sebentar lagi Radit mengajak Nabila dan Surya untuk berkunjung. Sekotak brownis buatan Anggi jadi buah tangan. Barangkali kedatangan mereka terlalu kaku. Basa-basi istilahnya. Setidaknya ada niatan baik dari keluarga Radit untuk menghargai pemimpin di daerahnya.
Masih memakai sarung dan berkaus santai, Radit mencoba melepaskan bebannya perlahan. Mengungkapkan kekhawatirannya tentang keputusan malam ini. Radit mau sedikit orang yang tahu tentang kedatangan Nabila dan Surya. Cukup pihak keluarga di rumah itu. Mau tidak mau, alih-alih menutupi ... pihak luar ikut penasaran dan berakibat risiko besar terbukanya sebuah fakta.
"Nabila yang sepakat. Dia yakin akan membuka identitasya ke Pak Galih. Kamu diminta menemani saja, Mas. Mereka yang hadapi."
"Terus saya hanya diam saja begitu sementara mereka terus dicecar pertanyaan ini itu? KTP yang masih abu-abu, tahun lahir tidak masuk akal dengan penampilan mereka? Terus bagaimana kalau Pak Galih tiba-tiba tanya, kamu pakai ilmu hitam buat datangkan mereka? Itu konyol, sayang."
Mereka tidak tahu apakah keputusan ini baik atau tidak. Lambat laun, identitas Nabila dan Surya pasti akan dipertanyakan. Apalagi urusan memulangkan mereka masih tidak jelas. Berapa lama mereka akan tinggal Radit pun tidak tahu. Mengesampingkan masalah logika, Radit hanya takut ada sesuatu yang disembunyikan Nabila atas keberaniannya membuka jati diri.
"Saya merasa ada yang aneh antara Nabila dan Pak Galih."
Radit melepas kacamatanya sedikit kotor di lensa sebelah kanan, "Kamu tidak sadar dengan bahasa tubuh mereka saat bertemu?" tanya Radit.
"Skripsiku dulu membahas teknik gesture, Mas. Banyak buku dan jurnal yang sudah aku baca."
Kali ini Anggi memberi kecupan balasan di bibir Radit sebelum menuju ke kamar mandi untuk cuci tangan.
"Uji aku kalau tidak percaya," teriaknya memancing Radit untuk ikut bersemangat.
Akhirnya, Radit melepas sarung dan menggantinya dengan celana. Kausnya pun ia ganti dengan sweater lengan panjang. Tampilan santai namun tetap sopan untuk berkunjung. Tidak perlu terlalu formal. Ini hanya urusan lapor warga dengan ketua RTnya. Apalagi sudah kenal baik dan rumahnya bersebelahan. Mau apalagi.
"Seingat saya, Pak Galih hanya tahu kalau Ibu dan Bapak sudah meninggal. Tidak tahu nama, alasan mereka berpulang, begitu juga fotonya. Ah, tidak yakin juga, sih."
Anggi muncul dengan rambut yang sudah terikat lebih rapi.
"Pak Galih pernah lihat foto orangtua, Mas, di ruang tamu waktu mampir ke sini nggak?" Anggi menyerahkan sisir untuk dipakai Radit.
"Entah."
"Tapi, Mas. Kalau semisal Pak Galih memang kenal orangtua kamu dulu. Lalu kaget waktu melihat ada Nabila dan Surya di sini, sebut saja mirip. Ingatannya mungkin masih ada. Dan andai Nabila merasa mengenal juga, bukankah ini semakin memperkuat anggapan kita kalau Nabila, Surya, dan Adit adalah kamu dan orangtuamu dari masa lalu?"
Radit terdiam. Menyambungkan segala hal yang bisa saja benar terjadi.
"Lepas dari kita menunggu hasil tes DNA keluar, bisa saja benar."
Ia selesai menyisir. Siap, Radit akan bersiap turun. Tangannya dingin. Rencana malam ini ingin sekali ia selesaikan secepatnya.
Tidak ada yang bisa menenangkan sepasang suami istri selain saling menguatkan satu sama lain. Bagi Radit dan Anggi, kehadiran mereka di setiap munculnya masalah tetap memberikan suatu rasa yang berbeda. Seperti tatapan mata, sentuhan, pelukan, dan ciuman sayang.
"Bicara secukupnya. Kamu kebiasaan kalau sudah asik, ngobrolnya bisa nggak tahu tema."
Lama, Radit cium bibir istrinya dengan penuh kelembutan. Sangat terasa dirinya membutuhkan Anggi untuk terus bersamanya. Malam ini Radit sebenarnya ingin istrinya ikut menemani. Namun sayang, sesuai kesepakatan yang akhirnya diambil, Anggi tetap tinggal di rumah. Menjaga anak-anak dan memilih menunggu hasil.
"Aku percaya sama kamu, Mas."
Beberapa kali usapan Anggi berikan ke dada Radit. Kebiasaan, Anggi adalah tipe pribadi yang memberikan sentuhan fisik sebagai bahasa cintanya.
Radit suka itu.
***
Mereka pergi dengan formasi. Radit berdiri di sisi kiri Nabila. Surya ikut mengapit di sebelah kanan menyeimbangkan. Kue brownis coklat pisang buatan Anggi dibungkus cantik dalam kotak berpita. Nabila yang membawanya. Sementara Surya menggulung kertas form pengisian yang sebelumnya telah dicetak Reza.
"Sebisa mungkin kita bersikap biasa. Jangan berbicara berlebihan sebelum ditanya," titah Radit.
Dirinya yang akan mengawali. Rencananya, Radit akan mencari celah untuk basa-basi terlebih dahulu. Lalu dengan momen yang pas, ketiganya akan berusaha keluar dan kembali pulang. Tanpa perlu ada kesempatan banyak membahas siapa mereka.
"Kalau sampai tidak bisa, saya akan cepat meminta Anggi hubungi untuk alibi kita. Sesuai rencana."
Nabila dan Surya mengerti.
Sementara itu di kediaman yang dituju ketiganya, ada Faiz yang asik dengan memangku laptop. Salah satu layanan menonton berlangganan sedang ia nikmati. Faiz melanjutkan salah satu series kesukaannya di sana. Terlambat memang, akhir tahun lalu musim terakhirnya rilis. Akibat kesibukan kuliahnyalah terpaksa membuat Faiz baru bisa melanjutkannya saat ini.
"Besok bantu Ayah cek outlet, ya. Ayah masih ada kelas sampai sore besok. Free?"
"Boleh."
Faiz berniat memesan makanan sebagai camilan. Ada promo menarik di salah satu layanan ojek daring.
"Besok sekalian aku mau cuci helm. Selama aku nggak di rumah, Ayah nggak pernah urusin helm aku yang di rak. Pasti kena air hujan. Bau banget."
Pak Galih melempar pensilnya tepat ke pangkuan Faiz. Hampir saja terkena layar laptopnya.
"Mana Ayah tahu? Salah sendiri itu helm dibiarkan di luar. Biasanya kan kamu masukkan itu kekantungnya atau ke kotaknya. Ini ditinggal begitu saja," gerutunya.
"Ya, barangkali Ayah mau pakai, kan? Mangkanya aku taruh belakang."
Padahal Faiz sendiri lupa untuk menyimpanya.
Segumpal tisu melayang, "Muka Ayah jerawatan pakai full face."