Beberapa tahun kemudian...
Di bawah rimbunnya pepohonan, dua orang anak manusia tengah mengipasi diri akibat cuaca yang begitu panas. Tak hanya cuaca, tapi jalan yang telah mereka tempuh menjadi alasan mereka berteduh, sebelum kembali pulang.
"Gak nyangka gue! Ternyata benar apa yang dibilang Pak Narwo, cari kerja itu gak semudah yang kita pikir," ocehnya.
Madya melirik lelah sahabatnya yang tengah mengoceh. "Dan benar apa yang dikatakan beliau. Bahwa kehidupan yang sesungguhnya itu ya setelah lulus sekolah!" Madya mengingat juga apa yang dikatakan Pak Narwo di dalam kelas.
Semilir angin membuat dua orang yang tengah berteduh menutup mata, menikmati waktu istirahatnya.
Ada banyak orang yang rindu tentang rasa, begitu pun dengan dua orang yang tengah mengingat masa sekolahnya.
Masa di mana belum ada kekhawatiran begitu dalam tentang uang. Hanya canda yang mereka kenal dapat menyembuhkan berbagai luka. Tapi sekarang mereka sadar, luka di masa itu hanya sebagian kecil sehingga masih bisa terobati dengan mudah.
Sekarang? Luka bertambah dan canda tak bisa meleburkan begitu saja. Atau tak ada yang mampu membuat canda itu. Canda si penghilang luka.
Berat rasanya saat menghadapi berbagai tugas yang sering membuat pikiran lelah, badan tak berhenti meski terus meronta untuk tidur. Namun sekarang, hal yang telah terlewati menjadi senyuman saat bernostalgia kembali.
Tapi hari ini, mereka bukan lagi di belakang. Depan sudah menjadi pijakan. Sebuah cita-cita khayalan setelah lulus, belum bisa terwujud. Sempat berpikir, apa lagi yang kurang dari perjuangan ini?
Jawaban itu ternyata, dulu hanya nilai yang kau perjuangkan yang ternyata tidak memberimu kemudahan apapun. Segala pujian tentang nilai kini seperti ejekan yang terngiang di kepala, bahkan berpikir menjadi cemoohan orang lain di saat kita tidak bisa menggapai apa yang harus dicapai.
Mata mereka terbuka karena suara riuh beberapa orang yang ternyata adalah pendemo. Mereka mendekat ke sebuah pohon, tempat dua perempuan itu terduduk. Ternyata mereka baru sadar bahwa pohon ini adalah pohon dari sebuah pabrik tempat di mana sebelumnya mereka memasukkan lamaran kerja.
KELUAR KALIAN DARI KANTOR!
JIKA TIDAK KAMI AKAN MEMBAKAR PABRIK INI!
BAYAR GAJI KAMI, ATAU KALIAN TANGGUNG SENDIRI AKIBATNYA!
Sorakan demi sorakan begitu mengerikan bagi mereka yang masih belum mengerti tentang pabrik yang ternyata bermasalah itu.
Terlihat juga berbagai poster yang berisi ancaman dan keluhan dari mereksma, di bawa dengan tangan kemudian sebagian ditempel ke gerbang pabrik.
Madya menatap ngeri kejadian yang membuat kakinya lemas. Tiba-tiba tidak ada jalan baginya untuk keluar dari area depan pabrik ini. Naila menarik tangannya menuju kerumunan, matanya membulat ketika Naila malah membuat mereka terjebak di antara pendemo.
"Aduhh Nai, kenapa kamu tarik ke sini?" gerutu Madya.
"Gak ada cara lain, jalan keluarnya kita harus menyusup di antara kerumunan," bela Naila.
Tapi bukannya terbebas, mereka malah terseret beberapa orang yang mulai bergerak mendobrak sebuah gerbang.
BAYAR KAMI!
BAYAR KAMI!
GAJI KAMI!
Suara itu pun membuat telinga mereka mendengung, mereka benar-benar terjebak di antara pendemo. Tidak ada jalan keluar bahkan satu celah pun tidak terlihat, karena masa pendemo semakin bersikukuh mendekat dan ingin masuk ke dalam pabrik.
"Permisi, permisi, aduhh gimana kita bisa keluar kalo saling berhimpit seperti ini!" mencoba membuka jalan, tapi hasilnya nihil.
"Aduhhh, huhh!" keluh Naila sudah kehabisan tenaga.
Mencoba diam. Tak ikut bergerak juga sulit. Bahkan saat diam malah membuat mereka terseret oleh arus masa yang pasti beribu-ribu orang itu.