Madya tak berhenti menatap sosok itu, seseorang yang telah resmi menjadi pacarnya.
"Ayo, pulang," ucapnya menyadarkan Madya yang kemudian tersenyum.
Dan Madya hanya diam juga. Memegang helm yang juga belum dipakai.
Melihat itu, Satria menggelengkan kepalanya. Ia langsung merebut benda yang ada ditangan Madya.
"Jangan senyum terus, nanti didatangin semut. Mau?" Satria memasangkan pelindung berkendara itu yang tak lekas dipakai sendiri.
"Kok, gitu?" tanya Madya, kemudian naik ke atas motor lelaki itu.
Satria melajukan motornya, kemudian menanggapi pertanyaan dari kekasihnya itu.
"Senyum kamu itu, manis." Oke, Madya terkekeh. Untuk kali pertamanya ada yang menggombali, terlebih pacarnya sendiri.
Madya melingkarkan tangannya, memeluk Satria. Dibalik, helm yang dipakai dan tanpa sepengetahuan Madya, Satria tersenyum lebar.
Mereka sama-sama merasakan hal yang begitu membahagiakan, sesuatu yang sederhana tapi begitu bermakna.
Madya bersyukur, meski sebenarnya ada satu hal yang masih ia pikirkan. Impiannya!
Kini mimpi itu telah ditumbuhi lumut, tak lagi terlihat dalam tatapan langsung. Tak bisa dibuktikan, karena harus membersihkan.
Sekarang, ia berharap Satria bisa mengembalikkan harapan itu. Membuat mimpinya terlihat, kemudian terbuktikan.
Seperti lelaki itu yang selalu gigih menggapai angan. Melupakan cacian demi impian yang terlaksana.
Lelaki itu selalu bilang, "jangan menyesali terus menerus. Kalo kamu hanya bisa sampai titik ini, ya harus bersyukur. Kita gak tau apa yang Tuhan rencanakan untuk kita."
Dia selalu membuatku bersemangat, dengan tidak melupakan Sang Pencipta.
Dia, Satria. Yang ku harap sebagai pelengkap iman - Batin Madya.
***
"Mad, gimana menurut kamu?" menyodorkan kertas coretannya untuk mengerjakan tugas kuliah.
Madya mengambilnya, mengamati kemudian menanggapi. "Bagus, lagian kenapa tanya aku. Kamu tau kan kalo-" ucapan Madya ini terpotong karena Satria meletakkan jari telunjuknya di bibir gadis itu.
"Shutt, kamu hanya belum. Belum bisa, nanti juga pasti bisa."
Madya menghela napas mendengarnya dan mengaminkan itu semua dalam hati.
"Gak ada batasan untuk bermimpi, sekalipun bukan tentang cita-cita. Semua adalah mimpi, bahkan bermimpi bisa makan setiap hari, atau memiliki rumah besar juga termasuk ke dalamnya." Madya tersenyum mendengarnya.
"Jangan menyerah ya, kamu pasti bisa." Tatapan mata lelaki itu menghujam mata Madya yang terharu mendengar kalimat semangat itu.
Insecure adalah hal yang selalu orang pikirkan, mereka tidak percaya diri bisa menaklukkan mimpi yang berada di langit, karena kini kenyataannya mereka berada di bumi.