—the clouds stayed the night so the moon will never be lonely.
2004.
Awan menangis tersedu-sedu. Cuaca cerah hari ini tidak mencerminkan suasana hatinya.
Dia masih berusia delapan tahun tetapi sudah harus pindah keluar kota. Awan harus siap meninggalkan teman-teman dan sekolah, bahkan sepasang adik kembarnya. Dia tidak peduli kalau ada anggapan bahwa anak lelaki tidak boleh menangis. Awan tetap memeluk Langit dan Bintang lalu menangis bersama.
Sang Bunda dan suaminya hanya memperhatikan mereka dari balik pintu. Lalu membiarkan mereka bertiga bersama. Awan tak tahu harus merasa bersyukur karena dia tidak dimarahi setelah menangis atau dia harus membenci karena dialah yang harus pergi.
Sebenarnya Awan tidak sendirian. Dia akan tinggal di luar kota bersama sang kakak sulung, Bulan, atau yang lebih sering dia panggil Kak Luna.
"Ka Wan enapa halus pelgi jau? Huhu..."
Bintang mendongak dari pelukan Awan. Lelaki yang ditanya tersenyum tipis. Kalaupun dia memberitahu pada Langit dan Bintang, sepasang bocah berumur empat tahun itu tak akan mengerti.
Orang tua mereka sedang kesulitan. Keluarga mereka tak mungkin pindah rumah karena semua urusan kantor dan sekolah berada di daerah itu. Pindah rumah pun tak mungkin karena mereka tidak memiliki biaya yang cukup. Menjual rumah juga bukan sebuah solusi mengingat tempat ini adalah peninggalan almahrum kakek satu-satunya.
Maka Ayah memutuskan untuk menitipkan Bulan serta Awan pada saudaranya sampai keadaan cukup membaik. Kedua anak itu dirasa sudah besar untuk tinggal jauh dari rumah. Kebetulan sang paman dan istrinya belum dikaruniai anak. Maka mereka dengan senang hati menerima kehadiran Bulan dan Awan.
Suara ketukan pintu cukup mengejutkan si trio bersaudara. Pintu terbuka dan menunjukkan Bulan yang berdiri di ambang pintu.
"Aku boleh ikut pelukan?" tanya si putri sulung.
Tiga adiknya mengangguk. Bulan pun mendekat dan memeluk ketiga adiknya.
Mereka berempat terduduk di lantai akibat pelukan yang terasa semakin berat. Namun, tangan-tangan kecil itu masih saling mengeratkan. Terbuai dalam keinginan untuk terus bersama.
***
2008.
"Bintang nangis?" bisik Nala sembari menepuk pundak sang sahabat yang juga teman satu meja.
Bintang terbangun dari lamunan singkat, lalu menggeleng pelan dan tanpa sadar mengusap sejumput air mata di ujung mata.
"Engga kok," ucap Bintang jelas sekali berbohong.