2015.
Langit, Bintang, dan Nala.
Setiap kali tiga serangkai memperkenalkan diri pada orang baru, mereka semua pasti bertanya pada Nala,
"Kenapa nama kamu beda sendiri?"
Sembilan puluh persen orang asing percaya kalau Nala adalah adik si kembar. Lalu sisanya berpikir kalau Nala adalah sepupu, sehingga namanya tidak ada unsur nama benda angkasa.
Nala bahkan sempat berpikir untuk mengganti nama menjadi Mentari, supaya semakin serasi dengan kedua kakak palsunya itu.
"Enggak boleh," ucap Bintang tegas ketika Nala iseng menyampaikan pemikirannya.
"Kenapa kamu larang? Kamu bukan orang tua aku."
"Iya tapi dia kan orang tua tiri lo Nal," sahut Langit yang mendapat bonus lemparan bantal.
Mereka bertiga sedang bersantai di kamar si kembar. Nala duduk di kursi depan meja belajar sedangkan Bintang lebih suka duduk di atas karpet sembari bersandar pada pinggir tempat tidur. Hanya Langit yang begitu santai tengkurap di atas tempat tidur. Jari-jari tangannya sibuk memainkan PSP jadul kesayangan.
"Kasian orang tua kamu udah susah nyari nama, malah diganti cuman karena mau ikut-ikutan nama kita. Ya ga, Ngit?"
Langit mengangguk setuju.
"Ngit jawab napa," Bintang merajuk.
"Gue ngangguk tadi, astaga!"
"Ya gue kan ga liat dari bawah sini."
"SHH UDAH UDAH. Napa jadi ribut sih, yang mau ganti nama kan gue."
"Ya ga usah pokoknya," balas Bintang dan Langit bersamaan.
Nala menghela nafas. Dia bingung harus kesal atau gemas melihat tingkah keduanya. Agar suasana berubah, Nala pun membuka percakapan baru.
"Eh Langit, gue denger ada yang lagi deketin lo."
"Hm? Deketin maksudnya?"
"Ada cewek deketin lo."
Bintang melirik Nala penasaran.
"Oh. Si Tika?"
Nala mengangguk. Bintang hanya diam, membiarkan sepasang sahabat itu untuk berbicara.
"Ga tau tuh, dia nempel terus sama gue tiap kali ekskul sama jam istirahat. Kadang gue risih, tapi kadang manis juga sih dia hehe. Kadang lucu tapi kadang annoying."
"Heh kunyuk," ucap Nala yang mendadak berdiri dari kursinya.
Langit dan Bintang sejenak terpaku mendengar Nala. Gadis itu kemudian duduk di sebelah Langit yang masih menatapnya heran. Tangannya meraih bantal yang tadi dilempar Bintang, lalu gantian memukul si rakyat jelata.
"Aduh! Apa—"
"Jangan mikir kayak gitu. Lo yang jelas dong suka atau engga, sama dia."
"Kok lo yang marah?"
"Ya iyalah dia tuh temen sekelas gue!"
"Iya tapi—"
"Gue kan cewek juga Lang, jadi tau perasaan dia gimana. Apalagi kemaren dia curhat ke gue, dia bilang bingung mau tetep suka sama lo atau enggak. Masa lo gantung dia begini?" protes Nala dengan emosi berapi-api.
Bintang masih cukup mengandalkan pendengarannya. Dia sendiri tak mengerti dengan topik yang melibatkan perasaan. Langit dulu sudah menemukan cinta monyet pertamanya waktu SD. Namun berakhir bertepuk sebelah tangan dan dirinya menangis di dalam pelukan Bintang serta Nala. Sedangkan Nala jelas-jelas menyukai sang kakak sulung, alias Kak Awan. Lelaki pilihan Nala belum juga berubah sampai saat ini.
Lalu bagaimana dengan paduka Bintang?
Dia bahkan masih tak paham apa maksudnya 'hati berbunga' atau 'pipi merona malu' dan semacamnya. Dia pernah disukai oleh beberapa orang, tetapi kebanyakan juga merupakan penggemar dari Langit. Sehingga Bintang sama sekali tak tertarik. Jarang yang benar-benar tulus menyukainya.
"Oh gitu. Maaf, Nal. Tapi gue bener-bener ga tau kalau dia segitu sukanya sama gue."
'haduh dasar lelaki,' Nala mengeluh dalam hati.
Nala ingin kembali memukulnya dengan bantal. Namun, ekspresi bersalah Langit membatalkan tindakannya. Langit mendudukan diri agar sejajar dengan Nala.
"Apa gue perlu ngomong ke Tika?"
"Jadi lo sendiri beneran nolak dia nih?"
Langit mengangguk ragu.
"Hmm dibilang suka ya engga. Dibilang ga suka juga engga. Tapi kalo dari yang tadi lo bilang, mending gue tolak sekarang daripada tersakiti nanti kan?"
Nala mengerjapkan mata. Tanpa sadar dia menatap langsung pada netra coklat tua Langit. Cukup lama sampai yang lebih tua memanggilnya.
"Nal?"
"Tumben lo pinter," jawab gadis itu.
"Selalu dong."
"Enggak ya," balas Nala dan Bintang bersamaan.
Bintang kini berdiri dan ikut duduk di atas tempat tidur.