Semesta

langitabu
Chapter #8

Arkade

2017.

Bintang tersenyum cerah ketika akhirnya memegang benda kertas kesayangan, yaitu tiket nonton gratis.

“Seneng banget, Bin, kayak dapat nilai seratus,” ejek Nala.

“Yaiyalah, kan gratis,” sahut Riri sebagai sponsor utama sesi menonton mereka kali ini.

Sponsor utama yang kedua adalah Haikal. Saudara kembar Riri tersebut kini sedang repot membeli camilan ditemani Langit. Mereka semua sedang berada di bioskop, berkat janji Haikal untuk mentraktir Langit dan kawan-kawan menonton bersama dalam rangka ulang tahunnya serta Riri. Kebetulan Riri dan Nala juga berteman baik sejak awal SMA, jadi tidak ada rasa canggung sedikit pun di antara mereka.

“Eh Ri, gue belum beli kado,” kata Bintang merasa bersalah.

“Nggak apa-apa, kan hari ultahnya masih minggu depan. Lo mau beli kadonya patungan juga boleh, santai aja Bin,” ucap Riri mengacungkan jempolnya.

“Makasih Riri, hehehe.”

Riri tiba-tiba menaruh kedua tangannya di pundak Bintang, membuat Bintang serta Nala terkejut.

“Lo lucu banget sih! Jadi adek gue aja mau? Daripada gue punya saudara ga guna kayak yang di sana. Gue adopsi lo mau ya, Abin?” ucap Riri sembari menguyel-uyel pipi gembil Bintang.

Nala hanya tertawa. Padahal Bintang dan Langit memiliki wajah yang persis sama bagaikan copy dan paste. Sifat mereka yang bertolak belakang justru menjadi daya tarik masing-masing. Dalam kasus Bintang, dia sangat menggemaskan seperti anak kecil dan selalu nampak polos.

“Nala... tolong...” gumam Bintang yang wajahnya diacak-acak oleh Riri.

“Hahaha... udah Ri, kasihan mukanya makin jelek nanti.”

“Jadi maksudnya selama ini aku jelek?” tanya Bintang setelah berhasil lepas dari Riri.

“Hmm... kalau aku bilang iya?”

Bintang menggeleng berkali-kali, bibirnya mengerucut lucu. Hati Riri bisa meledak rasanya kalau terus-menerus melihat tingkah lucu Bintang.

“Eh gue baru perhatiin, kalian kalau ngomong pake aku-kamu. Kayak pacaran aja.”

“Hm? Iya ya?” tanya Nala bingung, namun telinganya tak sempat mendengar kalimat terakhir Riri.

Bintang beruntung bahwa penerangan di bioskop cukup gelap, sehingga tidak ada yang bisa melihat rona merah di wajahnya.

“Lo ga sadar? Gue kalo pake aku-kamu sama Haikal, mungkin dia ga bakal ngomong sama gue berhari-hari karena dikira gue lagi ada maunya.”

“Mungkin karena kebiasaan? Dulu si Langit baru mulai pake gue-lo sama gue pas awal SMP, tapi kalau sama Bintang kayaknya ga pernah berubah sampai sekarang jadi mengalir gitu aja. Ya ga Bin?”

“Ha? Oh, i-iya,” jawab Bintang menundukkan kepala.

“Eh, gue ke toilet sebentar ya, mumpung filmnya belum mulai,” kata Nala izin undur diri sebentar.

Take your time, Nal. Kita tunggu di sini,” balas Riri.

Bukan Riri namanya jika tidak menjadi orang peka di berbagai situasi. Bintang kembali mendongak ketika dia merasa ada sepasang mata yang menatapnya tajam.

“Lo suka Nala ya?” tanya Riri tanpa basa-basi.

Bintang menggeleng canggung. Sudah jelas berbohong. Riri seperti mengenang kembali waktu ia memergoki Haikal yang sedang suka pada seseorang.

“Kalau pun lo bilang enggak, bisa aja lo suka tapi lo belum sadar.”

“Maksudnya?”

“Begini ya calon anak adopsiku, kadang ada kalanya lo suka sama seseorang. Tapi karena lo terbiasa sama dia, lo ga sadar akan perasaan lo itu. Lo terlalu nyaman jadi teman, padahal sebenarnya perasaan lo lebih dari sekadar teman, paham?”

Bintang mengejapkan mata dan mematung di tempat. Riri menopang lengan kanannya pada pundak Bintang.

“Hmm... gini deh. Lo mau ga kalau ngomong aku-kamu sama gue atau Haikal?”

Bintang menggeleng tak setuju.

“Kalo ngomong aku-kamu sama temen sekelasnya Nala dan gue, duo rusuh si Adi sama Felix? Atau saudara lo sendiri, Langit?”

Bintang menggeleng lagi, semakin bingung pada pertanyaan Riri.

Lihat selengkapnya