Semesta

langitabu
Chapter #11

Pesawat

Riri merasa ada yang tidak beres.

Sudah seminggu lebih Nala tidak pulang bersama Bintang dan Langit. Gadis itu kini lebih sering meminta Riri untuk menemaninya sepulang sekolah. Entah itu mengajaknya untuk pergi ke minimart terdekat atau hanya duduk-duduk santai di kantin sampai sore.

Sekalipun hari itu Bintang sedang latihan basket, Nala juga tidak duduk di sekitar lapangan atau pulang bersama Bintang. Riri ingin bertanya, tapi dia ragu jika Nala tidak ingin bercerita apapun padanya. Maka Riri hanya bisa memenuhi permintaan sang sahabat selama ini. Berada di sisinya mungkin adalah hal terbaik yang dapat Riri lakukan sampai keadaan mereka membaik.

“Nal, lo putus dari Bintang? Atau putus dari Langit?” ucap Adi asal ketika jam kosong di kelas tanpa ada guru pengawas.

Riri otomatis melotot tajam ke arah Adi yang melongo tanpa rasa bersalah.

“Ga putus kok,” Nala menjawab tanpa diduga.

Riri, Adi, dan Felix yang ada di tempat, saling bertatapan bingung atas jawaban Nala. Ketiganya seolah terkena serangan jantung mini.

“Kan ga pernah jadian, ya ga bakal putus lah,” lanjut Nala cuek.

“Yah kirain,” kata Felix kecewa sebagai penonton.

“Lo pikir apa?”

“Ng... nggak, lupain aja. Eh jadi, besok lusa kalian naik apa ke tandingnya Bintang?” tanya Felix mengalihkan alur pembicaraan.

“Mobil,” jawab Riri singkat.

“Bareng dong,” balas Adi, Felix, dan Nala bersamaan.

Riri mengerling mata, sudah mengira mereka akan berkata begitu.

“Tanya sama Ical, dia yang nyetir soalnya. Kalo Nala udah pasti dapat free pass dari gue.”

“Cih, nepotisme,” protes Adi yang tak terima.

Kebetulan manusia yang sedang mereka bicarakan datang menghampiri. Posisi duduk asli Haikal berada di kursi ujung paling depan, bertolak belakang dengan posisi milik Adi. Ini akibat dari dirinya yang selalu dicurigai sebagai pemicu keributan oleh para guru, karena dia berteman baik dengan Langit.

“Kawan-kawan, ini nomor tiga jawabannya apa ya?” tanya Haikal sembari membawa lembaran tugasnya.

“Cal, kalo gue boleh numpang naik mobil lo ke tandingnya Bintang, gue kasih lembar jawaban gue,” jawab Felix penuh keyakinan.

Deal. Jawabannya apa?”

Felix memberikan lembaran tugasnya yang baru terisi sedikit. Haikal lalu duduk di kursi kosong sebelah kiri Felix. Dia mengambil kertas lembar milik Felix lalu bersiap untuk menyalin ketika dia menyadari sesuatu.

“Lix, mana nomor tiganya?”

“Ga tahu.”

“Lah?!”

“Tadi Felix bilang dia mau kasih lembar jawaban, bukan kasih jawaban nomor tiga, Cal,” kata Nala menerjemahkan perkataan Felix sebelumnya.

Felix tersenyum licik melihat Haikal yang termangu. Nala tersenyum kecil karena sedikit terhibur sedangkan Riri sudah tertawa dari tadi.

“Nih Cal, jawaban dari gue aja, udah keisi semua. Tapi besok lusa gue boleh numpang mobil lo juga ya?” giliran Adi mencoba membuat kesepakatan.

“Iya oke, mana sini kertas lo,” ucap Haikal tak sabaran.

Haikal meraih kertas Adi yang berada di belakangnya. Dia memperhatikan kertas itu beberapa kali sampai yakin karena takut tertipu lagi. Di lembar itu, Adi sudah menulis hampir seluruh jawaban soal, bukan hanya mengisi identitas diri dan tanggal.

“Tumben pinter. Ini pasti bener semua, Di?”

“Ya nggak lah.”

Haikal sudah malas memulai perdebatan, maka dia menatap Nala dan Riri secara bergantian untuk meminta bantuan. Kedua gadis itu malah asik tertawa melihat kemalangan Haikal. Sedangkan Adi dan Felix melakukan hi-five karena berhasil menjahili Haikal.

“Nih Cal, tapi gue tulis rumus soalnya aja ya, jawabannya lo coba cari sendiri,” kata Nala yang memberikan kertas buram miliknya setelah puas tertawa.

Wajah Haikal berubah cerah seketika.

“Gapapa Nal, yang penting berguna. Makasih banyak,” kata Haikal penuh semangat.

“Sama-sama.”

Haikal lalu kembali ke tempat duduknya di depan. Ketika lelaki tampan itu sudah agak jauh dari jangkauan mereka, Riri berbicara pelan pada Nala.

“Nal, bukannya lo ga bisa matematika juga?”

“Iya, tapi Haikal ga tahu, kan?” kata Nala dengan sunggingan senyum jahil di wajah.

Kuartet penghuni kursi belakang itu pun berusaha menahan tawa agar tak terdengar oleh Haikal. Sudah lama Nala tidak merasa seceria ini. Lagi pula Nala sudah lama tidak berinteraksi dengan dua sumber kebahagiaannya, yaitu Bintang dan Langit.

Dia belum sempat bertanya pada Langit tentang lomba geografi. Ketika Nala bertemu Bintang pun, suasana selalu menjadi canggung. Hubungan mereka kini terbatas pada kata sapaan singkat.

***

Tok tok tok.

“Iya, sebentar!” balas Nala pada bunyi ketukan pintu di rumah.

Nala berjalan cepat ke arah pintu depan lalu membukanya. Seorang perempuan dewasa berdiri di balik pintu. Ia tersenyum ramah pada Nala.

“Hai, aku Bulan. Biasanya adik-adik aku manggil aku Luna. Kita pernah ketemu di mall waktu itu,” kata perempuan ini memperkenalkan diri.

Rupa wajahnya sangat familiar sehingga Nala merasa sangat mengenalnya.

“Lun... oh! Kak Bulan! Kakaknya Langit, Bintang, sama Kak Awan?”

Bulan mengangguk antusias dan tersenyum. Reaksi lucu Nala membuat ia merasa senang karena ketiga adiknya berteman dengan anak sebaik ini.

“Masuk dulu kak.”

Lihat selengkapnya