Akbar terlelap begitu lama. Bahkan, kini langit sudah berubah warna menjadi gelap, kabut mulai memenuhi lingkungan sekitar cukup menghalangi pandangan. Akbar membuka matanya, kemudian ia bergegas mengganti pakaian dengan set training berwarna abu. Tak lupa, ia juga memakai topi rimba milik indah. Mengikatnya di bawah dagunya, tak lupa memasangkan kupluk jaketnya di kepala. Perlahan ia bergerak keluar tenda.
Matanya tertuju ke api unggun yang menyala terang terlihat ke tujuh teman barunya duduk melingkar. Terlihat Fadly juga Lukman yang sibuk memanggang jagung.
Indah tersenyum melihat kehadiran Akbar.
Akbar menghampiri mereka dengan mata yang masih rapat.
“Udah mendingan mas?” tanya Fadly melihat kedatangan Akbar.
Akbar mengangguk. Kemudian tanpa bicara ia meminta Fadly bergeser.
“Gantian fad” ucapnya dengan suara yang serak.
“Gapapa, gausah. Duduk aja mas” ucapnya menolak tawaran Akbar.
Akbar mengangguk mengiyakan ucapan Fadly kemudian ia bergegas duduk di bagian belakang di paling ujung bersebelahan dengan Icha. Sesekali matanya tertutup, tangannya menyilang. Lalu bagian telapak tangannya ia masukkan diantara ketiaknya.
“Ini mas” ucap Fadly sambil menyerahkan jagung bakar yang sudah matang.
“Kalian ngga?” tanyanya. Melihat mereka yang masih terdiam.
Semuanya menggeleng serentak. Lalu menaikkan kepalanya sedikit. Mengarah ke beberapa tumpukan bekas jagung.
Mulut Akbar terbuka, menganga. Melihat tumpukan jagung itu.
“Masih ada kentang kan ndah?” tanyanya kepada indah dengan suara yang samar. Karena, mulut yang masih mengunyah jagung yang panas.
Indah mengangguk.
Akbar bergegas membangkitkan tubuhnya. Kemudian beranjak ke dapur umum. Matanya, bergegas mencari bahan-bahan masakan. Seperkian detik kemudian ia mengeluarkan beberapa kentang, bawang Bombay, bawang putih, sosis, telur, burito juga keju.
Tangan kirinya bergerak mengambil panci lalu meletakkannya di wastafel. Tak lama setelahnya ia menghidupkan keran untuk mengisi setengah panci dengan air.
Plak
Indah memukul pelan tangan Akbar.
Akbar tersentak, seketika ia melihat kearah samping kirinya.
“Awas” ujar indah memintanya bergeser.
Akbar bergeser mengikuti kemauan indah.
Tangan kanan indah bergerak menyerahkan cangkir ke hadapan Akbar. Akbar menerimanya. Tak lama kemudian indah mengangkat panci itu kemudian meletakkannya di kompor.
“Buat apa?” tanya indah. Sambil menghidupkan kompor.
Hening, tak ada jawaban dari Akbar.
Indah membangkitkan kembali posisinya. Berdiri sempurna. Kemudian pandangannya melihat kearah Akbar yang tengah meminum cangkir miliknya.
Akbar kembali meletakkan cangkir itu di samping kanannya perlahan ia mengambil beberapa kentang memotongnya menjadi beberapa bagian. Membilasnya dengan air yang mengalir dari wastafel lalu memasukkannya ke dalam panci yang sudah bertengger di kompor. Beberapa detik kemudian tangan kanannya kembali bergerak mengambil beberapa siung bawang putih.
“Sini,sini” usul indah melihat Akbar yang kesulitan mengupas dengan sebelah tangannya. Kurang dari sepuluh detik ia sudah mengambil alih pekerjaan Akbar.
“Ini gimana? Di cincang?” tanyanya kepada akbar.
Akbar mengangguk mengiyakan.
“Bawang bombai?” tanyanya.
“Diiris tipis” balasnya.
Beberapa menit kemudian ia mengangkat kentang yang sudah matang dengan penyaring. Lalu meletakkannya di samping kanan. Terlihat tangan kanannya bergegas memanggil teflon. Meletakkannya di kompor. Lalu menambahkan beberapa tetes minyak. Menumis bawang putih dan bawang Bombai. Tak lama setelahnya tangannya bergerak memecahkan dua telur mentah memasukkannya ke dalam teflon. Lalu mengaduknya, setelah telur terlihat setengah matang ia kembali menambahkan sosis yang sudah dipotong. Tak lupa ia juga menambahkan beberapa bahan penyedap untuk menambah rasa.
Selagi menunggu itu matang. Tangannya tidak berhenti bergerak menyiapkan burito. Dengan sebelah tangannya ia bergerak memisahkan tiap lembar burito. Menambahkan kentang kukus, telur sosis yang sudah matang tak lupa di atasnya ia menambahkan keju. Setelah itu ia menggulung burito. Lalu membungkusnya dengan kertas aluminium foil. Ia membuat burito sebanyak delapan bungkus. Dengan bantuan indah kurang dari dua puluh menit hidangan itu sudah jadi.
Indah berjalan dengan nampan berisi burito di kedua tangannya. Sementara Akbar berjalan mengikutinya dari belakang. Tak lama setelahnya, ia meletakkan makanan itu di lingkaran temannya.
“Silahkan” ucapnya seperti pelayan.
“Hati-hati masih panas” ujarnya lagi.
Satu persatu temannya mengambil meletakkannya di piring kecil membuka perlahan bungkusan aluminium foil. Terlihat keju yang meleleh dengan bantuan garpu mereka menikmati burito buatan Akbar.
“Enak, simpel lagi” puji Icha.
Semuanya mengangguk setuju. Kecuali, Indra yang justru menatap tajam ke arah Akbar.
“Nanti, minta resepnya yah” pinta Dita.
Akbar mengangguk.
Indra membangkitkan tubuhnya lalu berjalan ke arah Akbar. Tangannya menepuk bahu kiri Akbar.
“Kesana” perintahnya dengan gerakan kepalanya.
Akbar mengangguk lalu ikut membangkitkan tubuhnya berjalan mengikuti Indra.
Keduanya berjalan menuju bagian paling belakang tempat perkemahan. Akbar menghentikan langkahnya, tepat setelah Indra berhenti di depannya.
Indra membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Akbar.
Buggg
Sebuah tinju mendarat di pipi Akbar. Tubuhnya terhuyung, kakinya mundur beberapa langkah ke belakang.
Ia memejamkan matanya, perlahan tangannya bergerak menyeka darah yang keluar dari mulutnya. Tak lama kemudian ia menatap tajam ke arah Indra.
“Maksudnya apa?” tanya Akbar tegas.
“Lo, berhenti deketin indah” ucap indra kesal.
“Dia masih punya gue.” lanjutnya lagi.
Akbar mengernyitkan dahinya. Tak mengerti dengan perkataan yang diucapkan Indra.
“Gue jauh lebih baik dari lo.”
“Rumah, kerjaan, mobil gue punya semuanya” lanjut indra angkuh.
“Sedangkan lo? lo cuman pengangguran. Yang dengan bangganya, lo numpang di tempat indah.” Ucapnya lagi sambil tangannya mendorong-dorong tubuh Akbar.
“Dan lo tahu kenapa dia ngebiarin ini semua?” tanya Indra.
Akbar terdiam, sebelah alisnya menaik.
“Itu karena gue” ucapnya dengan jarak yang semakin dekat dengan tubuh Akbar.
Akbar mengernyitkan dahinya, semakin bingung dengan ucapan yang Indra lontarkan.
“Malam itu, yang tabrak lo di parkiran. Itu gue” lanjutnya tanpa merasa bersalah.