Semesta

MiiraR
Chapter #33

ONE

Tubuhnya beranjak, berdiri setelah bus berhenti.

“Yu” ajaknya dengan tangan kanannya masih menggenggam tangan kiri milik indah.

Indah beranjak mengikuti Akbar dari belakang. Keduanya sepakat berhenti di minimarket. Indah mencoba melepaskan genggamannya dari lengan Akbar.

Akbar menggeleng.

Indah mengenyitkan dahinya.

“Kamu tuh kenapa? aneh banget” ujar indah sambil berusaha melepas tangan kirinya. 

Tangan kanan Akbar mengayun. Kemudian mengikuti indah dari belakang. Perempuan itu mengambil keranjang kemudian menuju ke tempat makanan ringan, minuman dan hal lainnya. Akbar mengikuti indah. Kurang dari sepuluh menit mereka telah selesai berbelanja. 

Akbar mengikuti kemauan indah. Kini, keduanya sudah berada di halaman depan kafe milik indah.  

Akbar menghela nafasnya. Kemudian langkahnya terhenti.

“Ayo” ajak indah lagi. 

Akbar mengangguk kemudian ia mulai duduk di kursi teras kafe milik indah. 

Indah menyetujui. Lalu ia ikut duduk berhadapan dengan Akbar. Sejak tadi sorot matanya terus memperhatikan Akbar. Luka di bagian wajahnya benar-benar nampak jelas begitupun dengan perban yang membaluti pergelangan tangan kanannya. Berjuta pertanyaan memenuhi kepala indah. Namun, entah kenapa sulit sekali menanyakannya kepada Akbar.

“Kamu kemana aja?” ucap indah mengulangi pertanyaannya.

Trek

Akbar membuka penutup kaleng soda miliknya. 

“Ketemu ayah” ujar Akbar. Kemudian tangannya bergerak menegak minumannya.

“Ayah” ujar indah dalam hati.

Akbar mengerutkan keningnya. Melihat, reaksi indah yang terdiam dihadapannya dengan dahi yang mengerut.

“Koas kamu gimana? lancar kan?” tanya Akbar.

Indah mengangguk mengiyakan.

"Gaada yang ganggu?" tanya Akbar lagi.

Indah menggeleng. 

“Bima?” tanya Akbar menanyakan pendapatnya.

Indah mengangguk mengiyakan

“Cukup annoying lah” ujarnya.

“Dia suka kamu” lanjut Akbar.

Indah mengangguk mengerti.

Akbar tersenyum kecil, melihat reaksi indah.

“Kamu juga suka?” tanya Akbar mengulangi pertanyaannya.

Indah menggeleng tak tahu.

Akbar tersenyum canggung. 

Indah menyadari reaksi Akbar. Kemudian, tangannya bergerak mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. 

“Lihat ini” ujar indah sambil meletakkan handphonenya di meja.

Akbar mencondongkan tubuhnya, kemudian matanya melihat ke arah yang indah tujukan.

Tak lama setelahnya, senyumnya kembali menungging.

“Soal lantai dua. Aku tambahin ornamen-ornamen dikit. Gapapa kan?” tanya indah.

“Gapapa, aku suka” jawab Akbar. Kemudian ia menggeser gambarnya melihat secara detail.

“Boleh minjam buku sama bolpoin? yang ngga dipake aja” ujar Akbar.

Indah mengiyakan. Ia mengeluarkan buku beserta bolpoinn lalu menyerahkannya kepada Akbar.

Akbar menerimanya, lalu tangannya bergerak membuat sebuah garis. Ia menggambar ulang desain interior lantai dua kafe indah. Tangannya terus bergerak dengan mulut yang tidak berhenti menjelaskan. 

Indah memperhatikannya. Tubuhnya lebih condong ke sisi Akbar. Matanya bergerak mengikuti arah tangan Akbar sedangkan telinganya terus mendengar apa yang Akbar ucapkan.

Waktu sudah berlalu dengan cepat. Sudah hampir empat jam mereka diam di tempat itu.

Indah melihat ke arah pergelangan tangannya. 

“Jam satu pagi” gumamnya dalam hati.

Kemudian pandangannya berubah ke arah Akbar.

“Nanti, lampunya kamu ganti aja. Pake, yang ada rotan-rotannya.” Ucap Akbar memberi tahu.

“Kenapa gak sekalian kamu aja?” tanya indah.

Akbar terdiam, ia meletakkan bolpoinnya. Kemudian matanya menatap ke arah indah.

“Lagian kamu masih disini kan?” tanya indah memastikan.

“Oh Iya” ujar Akbar mengiyakan dengan canggung.

“Liat sini deh bar” ucap indah memberi perintah.

Akbar mendongakkan kepalanya, kemudian kedua mata mereka bertemu.

“Tangannya juga, sini” ujar indah.

Akbar menuruti perkataan indah. Ia menggerakkan tangannya ke meja.

Indah menerimanya. Kemudian jari-jarinya bergerak memijat tangan Akbar. Dibagian pergelangan tangannya ia menekan sedikit.

Akbar mengernyit.

“Sakit?” tanya indah.

Akbar mengangguk mengiyakan.

“Kamu tadi di RS ngapain? periksa ini?” tanya indah dengan tangan yang menyentuh pipi Akbar yang terluka.

Akbar Menggeleng.

“Terus?” tanya indah penasaran.

“Jenguk kakek” jawabnya.

Plakk 

Indah melayangkan satu pukulan di bahu Akbar.

Akbar mengernyitkan dahinya, tak mengerti.

“Kenapa gak bilang? kan bisa jenguk sekalian” ujarnya.

“Gak usah, gak perlu” ujar Akbar menolak.

“Kenapa? malu?” tanya indah.

Akbar mengerutkan keningnya lagi.

“Kamu malu ngenalin aku ke keluarga kamu?” tanya indah lagi.

Akbar diam tak menjawab.

“Yaudah gausah” ujar indah lalu memalingkan wajahnya dari Akbar.

“Aehhh” ucap Akbar sambil mengacak-acak rambut milik indah.

“Ih apaan sih?” gerutu indah kesal.

“Ok, nanti kita jenguk bareng ya” ujar Akbar dengan tangan yang menyentuh pipi milik indah.

“Janji?” ucap indah sambil berbalik melihat indah lagi.

Akbar mengangguk, mengiyakan

“Bar” panggil indah.

“Hmm” balas Akbar.

“Kamu sadar ga sih malam ini kita ngobrolnya banyak banget” ujar indah.

Akbar mengangguk, setuju dengan apa yang di ucapkan indah.

“Nggak kayak sebelumnya. Kita ngobrol ya pas lagi perlu aja. Setelahnya, kita ngelakuin tugas kita masing-masing aja, spontan.” Ujar indah meneruskan.

Akbar mengangguk setuju.

“kamu bener ndah. Bisa ngelihat kamu lagi aja aku udah bersyukur banget” ucapnya dalam hati.

Matanya terus menatap indah lebih dalam. 

“Aneh bukan. Padahal kita baru kenal. Tapi, aku ngerasa udah Deket banget sama kamu” lanjutnya dalam hati.

“Soal malam itu aku minta maaf” imbuh indah.

Tak ada jawaban dari Akbar. Selanjutnya, indah menoleh.

Dari sorot matanya, terlihat Akbar yang tengah duduk dengan melihat ke arahnya. Kurang dari seminggu mereka berpisah. Luka, Akbar sudah bertambah lebih banyak.

“Sebenarnya, kamu kemana sih bar?” tanya indah dalam hatinya.

“Aku khawatir banget.”

“Siapa yang ngelakuin ini? Apa mereka lagi?” 

Beribu-ribu pertanyaan memenuhi kepala indah. 

“Boleh aku nanya sesuatu?” tanya indah kepada Akbar.

Akbar mengangguk mengiyakan.

Dengan ragu, indah membuka ponselnya kembali. Perlahan ia mulai memutarkan satu video dari ponselnya.

Lihat selengkapnya