Buggg
Akbar menutup pintu mobil dengan keras. Pria dengan pakaian berwarna putih itu berjalan menghampiri seseorang yang tengah duduk menghadap ke arah danau di depannya.
Lima menit kemudian Akbar menurunkan tubuhnya, duduk berdampingan dengan pria di sebelah kanannya.
Udara dingin merasuki tubuh keduanya. Langit masih gelap, cahaya dari lampu petromax terlihat begitu mewah mengisi kekosongan.
Akbar menggerakkan tangannya meraih satu batang rokok di samping tubuh gempal pak Baron.
Baron menoleh, menyadarinya.
Akbar tetap melanjutkan aktivitasnya.
Tangannya bergerak menyalakan gasolin, lalu mendekatkan ujung batang rokok miliknya.
Hhuhhh
Asap terlihat dari kedua lubang hidungnya.
“Cewek tadi siapa?” tanya Baron.
Akbar Menggeleng.
“Masa gak tahu, sampai peluk-pelukan?” tanyanya lagi meledek.
Uhuk, uhuk
Tenggorokannya terasa gatal. Entah karena sudah lama ia tidak merokok atau pertanyaan dari pak Baron yang mengejutkannya.
“Dia orang yang nolongin Akbar pak” ujarnya mengawali pembicaraan.
“Maksudnya?” tanya Baron, heran.
“Iya."
"Setelah, Akbar keluar rumah. Akbar kena musibah, tabrakan.” ucapnya terdengar putus asa.
“Tabrakan” gumam Baron dalam hatinya.
“Jadi ini yang di maksud Dhea tadi” lanjutnya lagi bergumam dalam hatinya.
Lalu, Baron mengangguk mengiyakan.
“Nah, semenjak hari itu dia yang rawat Akbar. Dari mulai perawatan di rumah sakit, sampai bapak tahu ga?" Ucapnya.
"Baiknya dia, dia juga ngasih Akbar tempat tinggal sama kebutuhan Akbar yang lainnya” ujar Akbar menjelaskan.
“Padahal bisa dibilang keadaannya juga nggak baik-baik aja” ujar Akbar lagi melanjutkan.
Baron terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh Akbar.
“Yang pas liburan?” tanya Baron lagi.
Akbar mengernyitkan dahinya.
“Bapak tahu juga?” tanyanya.
Baron mengangguk.
“Itu acara temen-temennya Indah sebelum dia koas” jawab Akbar.
“Dokter?” tanya Baron.
Akbar mengangguk.
“Anak orang berada?” lanjut Baron bertanya lebih penasaran.
Akbar menggeleng.
“Dia hidup sendiri, bayar kuliah sendiri, punya usaha sendiri juga” lanjut Akbar menjawab.
“Ibunya?” tanya pak Baron lagi
“Meninggal sejak Indah masih kecil” jawab Akbar.
“Yatim piatu?” tanya Baron.
Akbar menggeleng
“Bukan juga. Ayahnya masih ada, kadang-kadang ke kafe buat mampir” lanjut Akbar.
“Jadi kenapa bisa ikut?” tanya Baron lagi, mengulik lebih dalam.