Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #1

Prolog

Adara

Perjalanan mengubah kami layaknya dua jalinan akar saling bertaut dalam waktu singkat. Jeratan akar itu mematikan. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menguraikannya tepat sebelum ia memilin makin kuat. Pemisahan itu mengembalikan kedua akar ke buminya masing-masing, menjadi tak lebih seperti dua pohon, berdiri sendiri-sendiri dengan luka bekas belitan. 

Dua cangkir kopi di samping api unggun tidak pernah tersentuh sampai udara dingin lereng Gunung Arjuna menguapkan panasnya dan mengubahnya menjadi sedingin es. Tidak ada yang manis dari duduk saling bersisian dengan jemari saling bertaut di balik kantong jaket demi mencari kehangatan. Kami sama-sama tahu, ini semua akan jadi kali terakhir. Ini adalah sebuah perjalanan pamungkas.  

Waktu menggerakkan malam dan menggulirkan bintang gemintang di langit area kemah Pos 1 Kop-kopan Gunung Arjuna. Temaram lampu senter menyala di dalam tenda-tenda pendaki yang sedang beristirahat. Hanya ada kami berdua ditemani api unggun yang sudah lama padam. Waktu terlalu berharga kalau sekadar dilewatkan dengan berbungkus kantong tidur dalam tenda. Walau dingin setengah mati, aku masih tetap ingin tinggal lebih lama di sisinya. 

“Semesta,” panggilku lirih. Semburat jingga mulai muncul di langit timur. Semesta menoleh. Kali ini aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. “sebentar saja, ya. Aku ingin begini.” 

Bahu Semesta yang awalnya menegang perlahan melembut. Namun, aku tidak punya banyak waktu. Sebelum kepalang nyaman, fajar sudah lebih dahulu menjemput dan Semesta pun bangkit. Dengan jemari kami masih saling terjalin erat, ia menuntunku ke tempat rahasia kami. 

Semak liar dan pohon-pohon jati muda rapat mengapit sebuah jalur setapak di samping Kop-Kopan. Di baliknya terdapat sebuah punggungan dengan tanah dipenuhi alang-alang. Di sana kami duduk di sebuah batu besar dan menanti cahaya fajar pertama menyapa dari timur. Kabut di bawah bukit perlahan naik, Gunung Penanggungan di barat seolah meniupkannya. 

Hangat tangan Semesta masih menyebar di jemariku. Aku tidak ingin melepaskannya, tetapi seiring cahaya fajar yang menyinari wajah kami, aku tahu kenyataan itu juga makin jernih membayang di pelupuk mata. 

“Semesta.”

“Adara.” 

Kami berucap bersamaan. Matahari terbit di bawah kumpulan awan tipis di batas cakrawala. Bukit rahasia kami itu selalu berubah menjadi keemasan setiap pagi. Namun, itu semua tidak terlukis di mata Semesta saat aku menatapnya. Bila kesedihan memiliki warna, mungkin itulah kanvas utama di matanya. 

“Ini akan jadi perjalanan terakhir kita,” kataku. 

Lihat selengkapnya