Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #2

Lembah Dewa

Semesta, Februari 2020

Lembah Dewa, Kerinci

Warna oranye seragam Basarnas tiga orang yang membelah lebatnya hutan Kerinci terlihat kontras dengan pekatnya warna rimba setelah diguyur hujan semalam. Matahari terik di atas kepala, tetapi cuma beberapa berkas saja berhasil menembus sampai ke lantai hutan. 

Tengah musim hujan bulan Februari 2020, sebuah laporan masuk ke Resor Taman Nasional Kerinci Seblat. Seorang pendaki terpisah dari teman-temannya dan dilaporkan hilang. Operasi pencarian sudah memasuki hari ketujuh, tetapi masih belum ditemukan tanda-tanda keberadaannya. 

Makin lama semangat semua relawan makin dekat dengan titik nadir. Wajar, ini hari terakhir operasi SAR. Kalau hari ini masih nihil, sesuai dengan peraturan, pencarian akan dihentikan. 

Aku satu-satunya tidak berseragam di kelompok ini. Aku ikut SRU Pak Rustam. Ia adalah komandan tim operasi pencarian. Di hari terakhir, lelaki itu ikut turun tangan juga. 

Langkah Pak Rustam mendadak berhenti di tengah jalur. Gomgom tepat di belakang membentur punggungnya. Berjalan paling belakang membuatku harus melongokkan leher setinggi mungkin demi mengetahui alasan penundaan mendadak ini. 

“Kenapa berhenti, Pak?” Gomgom bertanya penasaran. 

Dagu Pak Rustam menunjuk ke arah Becayo. Sang dukun Suku Anak Dalam itu telah berjalan jauh di depan. Ia berdiri diam memandangi sebuah pohon cemara sumatera. Pohon itu tumbuh besar dan rindang. Akar-akarnya mencuat dari dalam bumi, menciptakan beberapa rongga seperti pintu menuju dimensi lain. Sedikit matahari menembus rapatnya hutan dan menyinari punggung telanjang sang dukun. Tubuhnya hanya ditutup lilitan selembar kain sepanjang pinggang sampai lutut. 

Lelaki itu lalu meraupkan tangannya ke lumut tebal di akar pohon. Dibawanya lumut hijau ke indra penciumannya lalu menghidunya kesetanan seperti candu. 

Bah! Sedang apa pula pak tua itu?” celetuk Gomgom. 

Pak Rustam menyuruhnya diam dan memperhatikan. Aku sudah enggak heran lagi. Setelah banyak keluar masuk hutan, naik turun gunung dan ikut menjadi relawan di beberapa misi pencarian dan penyelamatan, hal-hal diluar nalar kadang terjadi. Terutama bila misi pencarian sudah melibatkan sarkun (Saran Dukun) atau tetua adat seperti Becayo.

Orang-orang seperti Becayo kadang bisa melihat hal-hal yang enggak bisa kami lihat, merasakan yang lebih halus dari getaran alam manusia, dan menembus sekat-sekat melebihi rapatnya pepohonan rimba Sumatera. 

Pak Rustam berjongkok menunggu Becayo masih khusuk dengan ritual meraup lumut. Sesaat kemudian ia berhenti. Matanya ganti menatap kami satu-satu. Tatapannya menyalang dan tajam. 

“Ikut!” Suara Becayo berubah berat dan geram. Ia kemudian bangkit dan langsung berlari kencang. Tubuhnya bergerak lincah di antara pepohonan. Usianya sudah lewat separuh abad, tetapi larinya segesit kijang kesetanan. Semua orang sampai kewalahan menyusulnya. Bisa dipastikan bukan Becayo yang berada bersama kami waktu itu. 

Becayo berhenti di tepi lembah. Di sampingnya, sungai mengalir deras lalu jatuh ke air terjun setinggi empat tingkat. Lelaki itu mengerjap beberapa kali. Tubuhnya hampir limbung, buru-buru ia meraih lengan Pak Rustam untuk berpegangan. 

“Dia ada di sini,” ucap Becayo pelan. Sinar di kedua matanya kembali, bersamaan dengan jiwanya sendiri. Belum sempat Pak Rustam membagi tugas penyisiran, Becayo sudah mencegah. “Jangan! Kalian jangan lakukan apa-apa!” Ia menengadah ke atas langit. Matahari tepat berada di atas kepala. “Tunggu sampai matahari geser sedikit. Beri waktu dulu sama Bunian.” 

Bunian atau orang pendek menempati tempat khusus di kepercayaan Suku Anak Dalam. Diturunkan dari generasi ke generasi, Bunian telah menjadi legenda. Tengah hari adalah saat mereka bergerak di hutan. Semua wajib menghentikan kegiatan sampai setidaknya matahari tergelincir dari puncaknya. 

“Keluarkan rokok.” Perkataan Becayo lebih seperti perintah. 

Semua melihat Pak Rustam untuk menanti persetujuan. Lelaki itu hanya mengedikkan dagu tanda setuju. Becayo sepertinya sudah jadi harapan terakhirnya. Memercayakan pencarian ini pada seorang dukun sungguh enggak masuk akal. 

Becayo mengambil tiga buah rokok dari tangan Gomgom dan buru-buru membakarnya di atas batu. Dianggurkannya rokok itu terbakar sendiri, mulutnya komat-kamit dalam bahasa yang enggak kumengerti. 

“Sedang apa lagi dia?” tanya Gomgom penasaran.

Nyerau. Sudah, jangan ganggu!” 

Semakin kencang rapalan mantra dari mulut sang dukun, kabut makin naik dari dasar jurang. Udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Semua mulut terkunci rapat. Meski enggak ada yang bicara, ada gentar mengeriap dalam diri setiap orang. Becayo sedang melakukan komunikasi dengan alam roh nenek moyang.

Sejam kemudian, matahari telah tergelincir barang sejengkal di pundak. Waktu makin tipis. Jejak atau petunjuk apa pun akan sangat berguna sekarang. Basarnas akan menutup pencarian ini apabila sampai pukul lima sore enggak ditemukan tanda-tanda keberadaan pendaki hilang. Sejenak aku teringat wajah sedih orangtuanya. Mereka akan semakin sedih mengetahui anaknya gagal ditemukan. 

Lihat selengkapnya