Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #3

Ramayana Ballet

Adara, 2013

Hatiku menciut menyaksikan Ramayana Ballet di pelataran Candi Prambanan malam ini. Terutama setiap kali ujung mata menangkap kursi kosong di sampingku. Kursi milik seseorang yang sudah kulepas pergi. 

Kalau tahu hubunganku dan Irvin akan kandas, seharusnya aku tidak perlu repot-repot membeli tiket pertunjukan ini sebagai hadiah peringatan dua tahun hubungan kami. Tadinya kupikir dengan menyaksikan Ramayana Ballet bersama akan memperkuat jalinan cinta kami, layaknya Rama dan Shinta melewati segala cobaan. 

Aku memang memang bodoh. Dekat tanggal pertunjukan, masih memikirkan betapa sayangnya tiket VIP yang sudah terlanjur kubeli akan hangus, dan memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta demi menghadiri pertunjukan malam ini. 

Mungkin aku memang perlu menyaksikan kursi kosong disisiku secara langsung. Agar bisa sepenuhnya menyadari kekejaman Irvin kepadaku, lalu meletakkan kenangan kami selamanya di bangku kosong itu. 

Ramayana adalah cerita cinta pertamaku. Di mata gadis lima tahun, aksi Rama menaiki Garuda untuk mengejar Rahwana sungguh gagah dan kesatria. Usahanya mengarungi negeri demi menyelamatkan Shinta menimbulkan harapan menggebu pada seorang gadis kecil bahwa suatu hari nanti akan ada lelaki sama ksatrianya seperti Rama untukku. 

Kisah Rama dan Shinta menjadi dongeng pertamaku. Aku masih ingat mendiang ibu sering menceritakannya setiap kali rumah terkena pemadaman listrik bergilir. Ia berhasil membius putri kecilnya untuk percaya pada kekuatan cinta lewat kisah Ramayana. Ada kalanya waktu tidur malamku diisi dengan mimpi-mimpi menjelajahi negeri diatas punggung Garuda, atau bermain dengan seekor kera putih perwujudan Hanoman. 

Sayangnya, hidup lebih luas dari kepakan sayap Garuda dan batas dongeng Ramayana. Aku belajar bahwa nyaris tidak ada lelaki sesempurna Rama. Irvin telah membuktikannya kepadaku beberapa bulan lalu ketika ia menjatuhkan bom untuk memutus hubungan kami. Kami putus karena orangtua Irvin tidak suka kepadaku. Setidaknya Irvin menjadi lelaki baik dengan menuruti nasihat ibunya. Walaupun itu artinya dia harus melukai hati wanita lain. 

Meskipun begitu, Irvin tidak menodai kenanganku tentang Ramayana malam ini. Aku berhasil merasakan kembali perasaan hangat setiap kali ibu mendongeng Ramayana untukku. Wajahku tak henti-hentinya menyunggingkan senyum sepanjang pertunjukan. Tarian demi tarian berhasil menghidupkan ingatan masa kecilku. Aku kembali menjadi gadis lima tahun yang tidak bisa berhenti tersenyum setiap kali Rama dan Shinta memadu kasih. Lalu terpekik tertahan menyaksikan pertempuran Rama dan Rahwana. 

Pertunjukan panggung terbuka selama tiga jam itu terasa singkat. Langit malam begitu cerah. Bintang dan bulan bersinar terang, seolah turut merestui kesuksesan pertunjukan malam itu. Untuk kali terakhir kupandangi kursi kosong di sampingku. Sambil menarik napas dalam, kunyatakan kalau masa-masa Irvin akan berhenti di sini. Lalu, dengan langkah mantap kutinggalkan kursi penonton tanpa sekali pun menoleh ke belakang. 

Selesai pertunjukan, penonton diperbolehkan berswafoto bersama deretan pemain Ramayana Ballet. Paling ramai tentu saja Rama, ketampanan pemerannya harus kuakui memiliki daya bius paling efektif bagi kaum hawa untuk mendekatinya. 

Dasar nasib solo traveller! Karena datang sendirian, aku jadi tidak punya kesempatan untuk berswafoto dengan Rama atau Shinta. Terpaksa, aku harus puas memotret mereka dari jauh dikelilingi para penonton lain. 

Selusin gadis remaja mengelilingi Rama, mereka berisik sekali meminta segera dipotret oleh pria di depannya. Mungkin mereka rombongan karya wisata dan pria itu adalah guru pembimbingnya. Tadinya kupikir demikian, sampai masing-masing dari gadis itu mulai bergantian memberikan ponselnya ke pria tadi dan lebih cerewet lagi memberi tahunya sederetan instruksi bagaimana cara mengambil foto. Selesai mengambil puluhan foto, lelaki itu melenggang pergi sendiri. Mungkin, aku bukan satu-satunya yang sendirian malam ini. 

Mata kami tidak sengaja bertemu. Kurasa lelaki itu menyadari bahwa aku sudah memperhatikannya sejak tadi. Ia melihat kamera di tanganku dan mengedikkan dagunya canggung. “Mau dibantu foto juga?” 

Aku mengangguk kelewat cepat dan menyodorkan kameraku ke arahnya. Sayangnya, semua pemain Ramayana Ballet sudah dikelilingi banyak sekali orang. Satu-satunya antrian paling sepi di atas panggung hanya Rahwana. Aku tidak punya pilihan, tidak sopan rasanya membuat lelaki itu menunggu lama hanya untuk menunggu giliranku berfoto dengan Rama dan Shinta. Rahwana juga karakter penting dalam Ramayana. Diam-diam aku berusaha membesarkan hati. 

“Bisa fotoin sama Rahwana?” 

“Terserah kamu,” jawabnya singkat. Tidak ada senyum di wajahnya. 

Aku menawarkan hal yang sama padanya, dan kali ini ganti lelaki itu mengulurkan kameranya kepadaku. Hanya segelintir orang mau berfoto dengan Rahwana. Orang-orang lebih memilih Rama, Shinta dan Laksmana.

Panggung pertunjukan dipenuhi penonton. Seseorang tergesa menuju ke tempat Hanoman sampai ia menyenggol sisi tubuhku, dan menjatuhkan kantong kertas berisi suvenir pertunjukan. Sepotong kain batik dan pajangan kaca Ramayana Ballet terlempar keluar. Aku buru-buru meletakkan kameraku dan memungutnya. Tanpa disangka, lelaki itu ikut membungkuk untuk membantuku. Kameranya diletakkan di samping kameraku dan ia mengambil kain batik lalu menyerahkannya padaku. 

Lihat selengkapnya