Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #4

Gapaian Tangan

Semesta

Urusan menurunkan adrenalin setelah naik gunung kupercayakan sama coding. Mengandalkan koneksi internet yang kadang naik turun, sejak minggu lalu aku membantu memprogram laman website baru Taman Nasional Kerinci Seblat. 

Mengetikkan sederet bahasa perangkat lunak menjadi pengalihan efektif setelah bergaul berhari-hari dengan alam, atau setelah penat dalam misi pencarian minim harapan seperti kemarin. Dalam dunia coding cuma ada aku dan bahasa tanpa suara di layar laptop. Transisi ini pas sekali. Aku enggak perlu banyak bacot, orang-orang sekitarku sudah paham waktuku enggak bisa diganggu sekalinya berhadapan sama laptop. 

Namun, kali ini enggak hanya ada aku di ruang tanpa suara ini. Ada satu orang lagi sedang mencoba melumpuhkan bukan cuma kekuatan jemariku, tetapi juga kemampuanku mengosongkan pikiran. Kalau bukan karena telepon Aji, duniaku pasti enggak seporak-poranda sekarang. 

Peduli setan kalau Adara menghilang. Lima tahun. Waktu selama itu seharusnya cukup memutus semua hubungan di antara kami. Memangnya siapa aku bagi Adara sampai Aji menghubungiku? Setelah ditemukan nanti, Adara pasti enggak akan suka melihatku di sana. Apa pun hubungan di masa lalu yang pernah mengikat kami, semua itu sudah berakhir. 

Kursor di layar berkedap kedip di halaman kosong. Sekarang ganti halaman kosong ini mengejekku karena enggak mampu mengetikkan satu saja perintah dari tadi. Satu pesan masuk ke ponselku. Nama salah satu staf tim tech di Tamu Alam, muncul paling atas.

Website Ekspedisi Atap Tanah Jawa crash diserbu komentar penggemarnya Adara. Apps ikut crash. Anak-anak udah beresin, tolong cek ya, Ta.

Tamu Alam adalah aplikasi bentukanku dan Aji dulu. Lewat Tamu Alam, kami menyediakan tempat dan jaringan komunikasi bagi para pendaki seluruh negeri. Mereka saling bertukar pengalaman dan mengatur jadwal pendakian bersama di banyak gunung di Indonesia. Walaupun sebagai salah satu pendiri, statusku di perusahaan enggak aktif. Aku sudah lama menyerahkan tugas-tugasku dan hanya sesekali ikut campur kalau diminta seperti sekarang. 

Namun, seluruh indraku seolah lumpuh setelah mendengar nama Adara malam ini. Aku enggak bisa memikirkan apa pun. 

“Mau ke mana kau?” sergah Gomgom yang sedang beristirahat di sampingku.  

“Sebat.” Aku bisa memahami kebingungan di wajah Gomgom. Rokok dan korek api hanya kukeluarkan ketika aku dalam tekanan atau butuh waktu untuk berpikir. Probabilitas keduanya sama jarangnya. 

“Ada masalah kau rupanya,” tebak Gomgom. Kulemparkan tatapan garang padanya. 

“Bukan urusanmu,” ujarku cepat lalu buru-buru pergi dari ruang istirahat petugas di balai taman nasional. Sebagian besar petugas SAR telah pergi. Hanya tinggal Pak Rustam masih melayani beberapa pertanyaan wartawan. Beberapa petugas Resor Kerinci Utara juga berjaga, walaupun jalur pendakian masih ditutup sampai tiga hari ke depan. 

Aku memilih menyepi di belakang bangunan resor. Kukeluarkan bungkus rokok kretek lusuh dari dalam kantong celana. Aku tahu rasa tembakau di dalamnya sudah sepah, enggak ada enak-enaknya lagi diisap sampai paru. Namun, tetap saja kunyalakan dan kunikmati seolah itu bisa mengalihkan pikiranku sendiri. Nyatanya aku salah besar. 

“Harusnyo mereka wawancara kau, Semesta.” Pak Rustam tiba-tiba muncul dan ikut duduk di sampingku. “Kau yang ambil jasad pendaki itu.” 

“Aku malas, Pak,” kataku tanpa melihatnya. Sudah setahun lebih sejak kali pertama perjumpaanku dengan Pak Rustam. Dia adalah orang yang menawariku menjadi relawan di Kerinci sejak kepindahanku kemari. 

“Kuberi kau rokok baru saja. Jangan iisap rokok lama.” 

Aku menyesapnya dalam-dalam sebelum menariknya dari mulutku dan kupandangi sedetik lebih lama. “Enggak perlu, Pak. Barang lama simpan banyak kenangan.” 

“Anak senja juga kau rupanyo.” Pak Rustam terkekeh. Perutnya buncitnya bergerak mengikuti irama tawanya. “Kau nak pergi, kah?” 

“Ke mana, Pak?” 

Aku tanya begitu, tawa Pak Rustam malah makin keras. “Lolo nian kau ni (Bodoh sekali kau ini). Putuskan nak pergi sajo pakai balik isap rokok segala.” 

“Aku belum putuskan apa-apa, Pak.” 

“Akhirnya kau pergi juga nanti.” Pak Rustam masih belum menyerah. Setelah telepon Aji, aku sempat sedikit bercerita kepadanya. Ia juga mengenal Aji, walaupun tidak sedekat aku.

“Belum tahu, Pak. Aku bukan siapa-siapanya lagi.” Semilir angin malam menderu dari arah lereng pegunungan. Hawa dingin menyergap, aku mendekapkan kedua tanganku di dada, tetapi Pak Rustam masih tenang di tempatnya. 

“Jadi kau biarkan dendammu itu menutupi rasa kemanusiaan dalam dirimu? Hari ini kau tolong orang tanpa tahu asal-usulnya. Kenapa kau tak bisa tolong orang lain hanya karena kau sakit hati padanya? Setidaknya kau sudah lebih dulu tahu asal-usul orang itu.” 

“Aku tahu, Pak. Tapi Adara belum tentu senang bertemu denganku nanti.” Ah, menyebut namanya membangkitkan memori lama. Bahkan, sekarang ingatanku sendiri mengkhianatiku dengan menampilkan rambut panjang lurusnya diterpa angin, terbang ke wajahnya yang tersenyum bahagia. Sadar, Semesta! Itu semua enggak nyata. 

“Belum tentu dia bisa kembali, Semesta.” Pak Rustam menepuk pundakku pelan seraya bangkit berdiri. “Pergi sajo. Kalau tak untuk wanita itu, pergilah untuk Aji. Dia sangat butuh kau di sana.” 

Perkataan Pak Rustam kupikirkan lama sekali. Rokok kretekku kuletakkan di atas bangku. Udara membakarnya sampai habis. Kunyalakan rokok kedua, juga kubiarkan begitu saja. Setidaknya aku enggak sendirian. Walaupun temanku mungkin hanya dedemit yang sedang makan dari asap rokokku. Belum selesai rokok ketiga kubakar habis, aku bangkit dan bergegas masuk ke dalam. Bukan untuk beristirahat, tetapi untuk berkemas. 

***



Adara 

Didatangi seorang debt collector di kantor adalah aib. Siapa tidak malu kalau ada orang asing tiba-tiba berteriak marah menagih hutang di hadapan umum? Setahuku aku selalu membayar tagihan kartu kredit tepat waktu. Begitu security memberitahu ada seorang lelaki berwajah garang mirip penagih hutang menungguku, aku buru-buru turun ke resepsionis. 

Lihat selengkapnya