Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #5

Desa Bermi

Semesta

Halaman Polsek Krucil makin ramai selepas magrib. Mini truk dobel kabin Basarnas diparkir di sisi jalan sejajar dengan mpv abu-abu milik kepolisian. Halaman berpaving di depannya dipenuhi puluhan motor. Orang-orang Basarnas, pihak kepolisian dan berbagai relawan berkumpul di dalam. Evaluasi hasil pencarian hari ini sedang berlangsung. Raut kelelahan terpancar dari masing-masing wajah, hanya ada segelintir orang sedang mengaso sambil membereskan peralatan di luar. 

Cukup sekali pandang, aku langsung tahu suasana di dalam alot. Beberapa orang mengemukakan hasil temuan mereka. Entah apa itu, aku belum tahu. Aku barusan sampai di Desa Bermi, pintu masuk jalur pendakian Gunung Argopuro di Probolinggo. Aji menghubungiku dari sini. Pendakian tim Ekspedisi Atap Tanah Jawa dimulai dari jalur Baderan di Situbondo. Seharusnya ekspedisi mereka berakhir di Bermi kalau saja Adara enggak hilang. 

 Cepat kutepis pikiran itu jauh-jauh, membuat otakku makin kosong. Sebetulnya aku sama sekali enggak berpikir. Bingung juga harus kuisi apa kepalaku sekarang. Sejak kemarin malam, tubuhku cuma bergerak mengikuti insting. Berpikir lurus saja sudah enggak bisa. Mengikuti saran Pak Rustam untuk ke sini juga bagian dari insting. Lagi pula Aji memintaku untuk datang, aku enggak pernah bisa menolak permintaan manusia itu. 

Keberadaanku di tempat ini enggak bisa dibenarkan. Aku bukan siapa-siapa Adara. Bisa aku bayangkan, gadis itu pasti akan marah melihatku nanti. Namun, berdiam di Kersik Tuo sementara Aji dan semua orang yang kukenal jungkir balik sampai putus asa di Argopuro juga salah. 

Seluruh jalur pendakian ditutup sejak Open SAR dibuka. Lima orang pendaki baru datang terpaksa balik kucing. Memang enggak terlalu banyak orang memilih Bermi sebagai titik awal pendakian. Rata-rata pendaki akan mulai dari Baderan. Apabila pendakiannya lintas jalur dari Baderan ke Bermi atau sebaliknya, perjalanannya bisa memakan waktu setidaknya lima hari empat malam. 

Sejak sore sudah banyak pendaki turun setelah menyelesaikan pendakian selama berhari-hari di pelukan rimba, dan langsung terkejut mendapati basecamp ramai dengan orang-orang Basarnas dan wartawan dari berbagai media. Seluruh negeri memang sedang heboh dengan berita hilangnya Adara, aktivis lingkungan, pegiat alam dan penulis buku bestseller

Daya tarik Adara selalu kuat. Ia mampu memesona seluruh negeri. Begitu pula diriku dulu. Ah, bangsat! Bisa-bisanya ingatan itu nyelonong masuk tanpa permisi. Memang pergi ke sini ide buruk. Berada dalam satu jangkauan radar dengan Adara membuat kenangan-kenangan lama bisa nyantol begitu saja. 

Enggak lama kemudian evaluasi selesai. Orang-orang membubarkan diri, dan baru lah aku bisa merangsek masuk ke dalam polsek. Aku cuma bisa celingukan karena enggak kenal siapa pun di sini. 

“Pak, saya mencari ... Aji.” Tadinya nama Adara sudah mau keluar dari ujung lidah. Buru-buru kurem, lalu kuganti dengan nama sahabatku. Lagi pula, dia yang mencariku, bukan Adara. Polisi di meja paling depan memandangiku dari atas sampai bawah dengan otot di atas alis mengerut. 

Tanpa menjawabku lebih dahulu, ia sudah bangkit menuju ruangan kapolsek dan kembali diikuti seorang lelaki kekar di belakangnya. Sekali lagi aku diberi tatapan selidik, kali ini oleh wajah keras lelaki itu. Dari bordiran nama di seragam oranyenya, aku tahu namanya Sutoyo. Topi rimba menutupi kepala dan sebagian wajahnya, tetap enggak mampu menyembunyikan garis keras rahang dan tatapan garang matanya. 

“Aji menghubungi saya,” kataku singkat. 

Wajahnya sedikit melunak begitu nama Aji kusebut. Namun, rona sengit di wajahya enggak hilang. “Kamu temannya Aji? Dia camp di atas.” 

“Apa sudah ketemu?” 

Sutoyo tergelak singkat lalu melipat kedua lengannya di dada sambil menatapku miring. “Kalau wes ketemu, enggak mungkin aku masih di sini. Kamu ke sini mau cari Aji atau ikut pencarian?” 

“Saya cari Aji, Pak.” Jawabanku mestinya yang kedua, tetapi bibirku malah menjawab sebaliknya. 

“Riyan!” teriak Sutoyo nyaring pada sekelompok orang di belakang. Seorang lelaki berpakaian bebas buru-buru menghampiri kami. “Iki lho, goleki Aji. Urusen, ya! (Ini lho, cari Aji. Urus, ya!) Aku mau istirahat.” 

“Siap, Pak.” Lelaki bernama Riyan itu menjawab sopan sebelum ia beralih padaku. 

“Aji cari aku. Dia bilang butuh bantuan,” kataku tanpa basa-basi. 

“Mas siapa?” 

Lihat selengkapnya