Adara
Sepanjang aku bercerita, Mika sama sekali tidak menyela. Ia hanya bengong sambil melihatku dengan mata bulat dan lebarnya, nyaris tanpa berkedip. Ia memang tidak perlu mengatakan apa pun. Sekian tahun bersahabat dengannya membuatku langsung tahu arti sorot mata yang menghakimiku itu. Tatapannya seperti tidak percaya, dan aku yakin ada lebih banyak penolakan di sana.
“Kamu enggak mau bilang apa-apa? Tatapan kamu itu mengganggu banget,” kataku jengah. Makin leluasa ceritaku, makin besar pula proporsi penolakan dan ketidaksetujuan di binar mata Mika.
“Oh, ada banyak banget yang mau aku katakan.” Mika mengerjap sesaat sebelum menyandarkan kepalanya di punggung kursi santai teras rumahku. Dari dalam rumah terdengar suara cekikikan beriringan dengan kerasnya suara televisi.
Tanganku buru-buru terangkat ke depan, membuat mulut Mika yang sudah menganga lebar kembali terkatup. “Banda, kecilin tv-nya! Mau kuping kamu jebol nyalain tv kenceng gitu?” Teriakanku menembus ke seluruh ruangan rumah.
“Cerewet!” sahut suara dari dalam tidak kalah nyaring. Suara televisi masih tetap keras dan aku hanya memutar bola mata kesal. Kakak memang cuma status di rumah ini, tidak ada satu saja perkataanku didengar sama remaja puber itu.
“Buruan ngomong!”perintahku kepada Mika.
“Ini kita lagi ngomongin Semesta yang sama kan? Semesta temanku itu? Cowok yang enggak sengaja tukeran kamera sama kamu di Prambanan? Cowok gondrong yang rambutnya udah kayak sarang burung manokwari? Cowok hitam dan kumal itu, kan?” berondong Mika.
“Emang kamu ngerti sarang burung manokwari kayak apa?” balasku dengan tatapan menyipit. “Ya, iyalah Semesta yang itu! Emang siapa lagi? Oh, jangan lupa cowok hitam kumal itu teman SMA kamu sendiri.”
“Dia beda banget waktu SMA. Enggak kayak preman gini.” Mata Mika menerawang ke langit-langit untuk sesaat, sepertinya sedang mencari berkas-berkas memorinya soal Semesta masa sekolah dulu. Buru-buru dia menggeleng dan kembali beralih kepadaku. “Anyway, maksudku tuh, ini bukan kamu banget.”
“Apanya?”
“Semesta,” jawab Mika cepat sekali. “Dia bukan tipe cowok yang akan kamu lirik dua kali. Udah gitu, kamu yakin banget pergi ke tempat antah berantah sama dia. Berdua saja.” Mika sengaja memberikan penekanan pada dua kata terakhirnya.
Aku mengangkat bahu tidak paham. “Kita naik gunung, bukan tempat antah berantah. Apa yang salah?”
Mika makin memajukan tubuhnya ke arahku. “Bukan perkara naik gunungnya, Ra. Ini kamu perginya sama cowok yang baru aja kamu kenal. Modelnya kayak Semesta gitu lagi. Don’t get me wrong, dia emang satu SMA sama aku, tapi kita bukan teman dekat. Dulu dia enggak kayak gitu, Ra. Sekarang dia lebih mirip preman, dan kamu baru saja memercayakan hidup kamu sama dia. Gimana kalau kemarin dia ngapa-ngapain kamu?”
Desis pelan keluar dari sela-sela gigiku. Aku tidak suka cara Mika meragukan Semesta dari penampilannya. Justru yang kulihat dari tindakan Semesta kemarin jauh sekali dari penilaian Mika. “Semesta bukan orang jahat. Dia bahkan enggak berani menyentuhku. Kita tidur satu tenda, tapi dia berusaha ambil jarak sejauh mungkin dari aku. Dia juga bantuin aku kemarin. Aku enggak mungkin selamat sampai puncak terus turun lagi kalau bukan karena dia.”
“Tetap saja dia pegang-pegang tangan kamu,” sahut Mika masih tidak setuju.
“Karena aku udah hampir menyerah, Mika!” balasku tidak kalah cepat. “Kamu sih, enggak pernah naik gunung, jadi enggak tahu gimana rasanya lutut sampai betis nyot-nyotan, napas dangdutan, rasanya udah mau mati aja kemarin. Oke, kamu benar soal penampilannya. Tapi salah soal hatinya. Aku ngerasa aman banget sama dia. Bahkan, aku rasa dia jagain aku kemarin.” Suaraku makin kecil di akhir.
“Someone looks really smitten,” sindir Mika.
Buru-buru kuraih bantal kursi di punggungku dan melemparnya ke arah Mika. “Jangan ngomong sembarangan, deh.”
Bantal itu gagal mengenai sasaran, Mika menangkapnya tanpa usaha dan ganti mendekapnya di dada. Ia terkekeh puas melihatku dan kembali melanjutkan, “Gini ya, Ra. Aku enggak tahu kamu gimana. Tapi jelas banget Semesta itu kepincut sama kamu.”