Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #7

Romansa Perjalanan

Semesta

Foto adara terpampang di papan informasi Polsek Krucil. Lama aku memandangnya. Wajah di depanku tersenyum lebar di tengah sabana Gunung Merbabu, tenda warna-warni pendaki menjadi latar belakang semarak di belakangnya. 

Mungkin saat itu angin sedang kencang-kencangnya, sebagian rambut menutupi wajahnya, tetapi enggak menghilangkan senyum dibibirnya. Tubuhnya yang sedikit bongsor tertutup jaket tebal dan celana cargo cokelat muda. Sementara kedua tangannya menggenggam trekking pole. Siapa sangka tubuh itu bisa menaklukkan banyak puncak gunung setelah petualangan pertamanya di Penanggungan dulu? Tanganku terkepal. Siapa sangka pula petualangan juga telah menyesatkannya. 

Tahun 2015. Ada keterangan kapan foto itu diambil di pojok bawah. Kebahagiaan di wajahnya membuatku mengira mungkin saja Adara baru turun dari puncak. Sorot matanya di foto itu masih sama seperti yang kulihat di Penanggungan dulu. Mata berbinar itu masih penuh kekaguman, terpukau sepenuhnya dalam dekapan alam. 

Bagaimana caranya dia bisa seriang itu balik ke Merbabu? Sementara aku harus lari sejauh-jauhnya demi menghindari sentakan memori setiap kali bersinggungan dengannya? 

“Ehem.” Akhirnya ada juga yang menolong dari neraka abadi pikiranku sendiri. Aku berbalik untuk menghadapi dehaman itu. Pak Sutoyo berdiri dengan kedua tangan di dada. Tatapannya masih sama, menelisik seperti meragukan. 

Tak pikir wes ketemu Aji,” komentarnya dengan suara berat. (Kupikir sudah ketemu Aji)

Polsek Krucil berubah menjadi titik pusat koordinasi operasi SAR sejak pencarian resmi dibuka. Hari masih subuh begini, petugas SAR dan relawan lain masih molor di dalam. Cuma ada satu polisi di meja depan masih berjaga dengan wajah ngantuk. Heran juga Pak Sutoyo sudah bangun. 

“Ini mau berangkat, Pak. Saya mau lapor naik,” jawabku mantap. 

“Sekarang?” tanyanya meragukan. 

Aku mengangguk sambil membenarkan posisi carrier di punggung. Tadi malam Riyan membantuku menyiapkan segala peralatan dan kebutuhan. Aku enggak butuh banyak. Tim di atas sudah pergi duluan dengan logistik dan peralatan lengkap. Modal tas carrier dan perlengkapan pinjaman, aku mantap menyusul Aji sebelum matahari terbit. Lebih cepat ketemu dengan lelaki itu makin baik. 

“Tunggu pagi. Anak buahku juga mau naik sekalian dorong logistik ke atas.” Pak Sutoyo berusaha mencegahku. 

Riyan juga menawarkan hal yang sama. Akan ada rolling relawan Temu Alam. Mereka sudah ada di atas sejak laporan hilangnya Adara diterima kantor pendakian. Beberapa relawan baru akan menggantikannya pagi ini. Aku menolak. Sejujurnya aku memakai penolakan ini sebagai alasan supaya bisa berjalan sendiri. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. 

Aku mesti mikir apa lagi, sih? Adara hilang. Titik. Kenapa aku butuh waktu buat mikir segala? Apa aku bakalan bantu mencari dia? Enggak tahu, pokoknya ketemu Aji dulu. Apa ini salahku? Secara teknis bukan. Adara ikut ekspedisi ini atas kemauannya sendiri. Namun, kenapa aku merasa seperti ada batu berat menghimpit dada sejak kulangkahkan kaki kemari? 

“Saya berangkat duluan saja,” tolakku tegas. 

He! Ojok sembrono! Aku SMC di sini. Kalau ada apa-apa sama kamu, masalahku bakalan dobel.” Sebagai pemimpin teratas dalam operasi pencarian ini, aku memahami kekhawatirannya. Argopuro dan Pegunungan Hyang luas, ia tidak bisa mengambil resiko kehilangan orang lagi. 

Aku melihat papan informasi di sampingku sekali lagi. Di dekat foto Adara ditempel peta topografi Argopuro yang sudah dikotak-kotak, dibagi menjadi puluhan karvak dan diberi penanda area pencarian mana akan disisir. Di bawahnya berisi informasi dan kronologi peristiwa dari hari pertama sampai hari hilangnya Adara. Sekali lagi kubaca cepat sampai habis. 

Lihat selengkapnya