Adara
Kunobatkan Semesta sebagai orang paling unik dalam sejarah. Yah, setidaknya dalam sejarah dua puluh lima tahun kehidupanku. Tidak pernah dalam kamus seorang Adara Laksmi belingsatan penasaran menunggu respon seorang lelaki. Mereka lah yang mendatangiku, bukan aku yang mencari mereka. Merekalah yang sibuk memikirkan cara bagaimana bertemu dan menghabiskan waktu denganku, tidak pernah sebaliknya.
Semua itu tidak terjadi dengan Semesta. Lelaki itu sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi setelah pendakian kami ke Penanggungan. Semesta berubah menjadi orang dingin. Kami berhenti berbicara, dan obrolan kami di ruang pesan tidak akan dimulai seandainya aku tidak menyapanya duluan. Mika pasti tidak memakai akal sehatnya sewaktu mengatakan bahwa mungkin Semesta menyukaiku. Aku bodoh sekali karena hampir percaya perkataan gadis itu.
Bohong kalau aku bilang hatiku tidak bergetar setelah semua yang kami lewati di Penanggungan. Dari cara Semesta menjagaku, memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, kesabarannya menghadapi umpatanku sepanjang jalur pendakian dan genggaman tangannnya kala itu menunjukkan bahwa di balik sikap pendiamnya, dia orang yang hangat. Semua itu membuatku beranggapan kalau mungkin Semesta menyukaiku, dan membuat hatiku yang sudah lama kesepian dan kering kerontang kembali bersemi.
Sangat menyenangkan bukan kembali merasa menjadi perempuan lewat cara Semesta memperlakukanmu, Adara?
Tidak pernah dalam hidupku ada seorang lelaki berani menentang tekadku untuk menyerah. Bukan hanya itu, Semesta menuntunku mencapai tujuan akhir kami, menyelesaikan apa yang sudah kami mulai dari bawah sampai langkah terakhir. Dia juga membuatku merasa sangat aman di tempat asing. Bahkan bersamanya gagasan soal keterasingan itu menguap di udara bersama angin kering pegunungan.
Berkali-kali aku menatap jemariku, berharap bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Semesta mungkin hanya peduli sebagai seorang teman. Namun, setahuku teman tidak menggandeng tangan teman lainnya dengan mudah.
Sikap Semesta yang membingungkan tidak meredakan gejolak dalam hatiku. Bahkan malam ini, ketika aku mendapati Semesta sudah berdiri di depan kantorku dengan motor besarnya, lagi-lagi ia membuatku bingung. Sekadar teman tidak akan muncul tanpa pemberitahuan seperti ini.
“Aku baru selesai instalasi dekat sini,” ucap Semesta kepadaku. Identitas karyawannya di sebuah perusahaan telekomunikasi masih tergantung di lehernya. Rambut gondrongnya diikat ke belakang, ia kelihatan santai mengenakan kaos di bawah seragam kerjanya yang dibiarkan terbuka.
Tatapan Semesta melewati bahuku, ke arah rekan-rekan kerjaku sedang menunggu. Kami baru akan berangkat makan malam. Samar-samar aku mendengar kasak-kusuk mereka. Kehadiran Semesta yang misterius sudah pasti akan jadi bahan gosip sampai beberapa hari kemudian.
“Kenapa enggak bilang kalau mau ke sini? Aku mau pergi sama teman-temanku.”
Semesta menyurukkan tangannya ke dalam saku celana jinnya. “Oke,” responnya singkat. Di mataku ia terlihat tidak peduli, dan itu menyakiti harga diriku. Seharusnya dia menahanku, memohon agar membatalkan acara makan malamku dan memilih pergi dengannya.
Semesta sama sekali tidak melakukannya. Ia malah meraih helm di stang motornya dan mulai memakainya. Mataku melirik satu helm lagi dikaitkan di bagian belakang motor. Apa helm itu seharusnya untukku?
“Maaf ganggu. Selamat makan sama teman-teman kamu kalau begitu.”
Tubuhku berbalik begitu saja. Tidak mampu menanggung harga diriku yang terluka. Seperti dugaanku, rekan-rekan kantorku sudah memborbardirku dengan berbagai pertanyaan ketika kami berjalan menuju parkiran.
Satu langkah.
Kenapa sikap Semesta seperti itu? Kalau memang dia tidak peduli kepadaku, kenapa dia ke sini setelah kubilang aku lembur?
Dua langkah.
Dia ada pekerjaan dekat sini, Adara! Dunia tidak berputar di sekitarku, aku harus berhenti menganggap diriku sangat spesial hingga Semesta memerlukan alasan khusus untuk datang menghampiriku.
Tiga langkah.
Siapa lelaki itu? Apa itu pacar kamu yang baru? Urakan sekali ya gayanya. Apa itu lelaki yang mendaki sama kamu di Penanggungan? Aku lihat fotonya di facebook kamu, rambutnya memang gondrong begitu, ya? Gila rambutnya panjang banget. Sepertinya masih bagus rambut dia daripada rambutku sendiri.
Pertanyaan teman-temanku mengabur di pendengaranku, menjadi dengung samar yang perlahan ditenggelamkan oleh pikiranku sendiri. Perlahan, tanganku kembali menghangat. Udara Surabaya memang sedang hangat. Namun, aku yakin sekali rasa hangat yang kurasa di tanganku ini bukan karena angin musim panas. Melainkan sensasi gapaian tangan yang kembali kurasakan di puncak gunung ketika angin kering membumbung di antara diriku dan Semesta.
Langkahku terhenti. Berpegang pada rasa hangat di jemariku, aku berbalik. Tidak menghiraukan protes dari teman-temanku, aku kembali ke tempat Semesta. Ia masih ada di sana, sedang mengenakan jaketnya dan menyalakan motornya.
Kenapa aku harus memikirkan siapa mengejar siapa? Ketika satu-satunya yang kudambakan adalah kembali merasakan sensasi hangat di antara jemariku dari gapaian tangan Semesta.
“Aku lupa sesuatu,” kataku sedikit terengah. Semesta menghentikan gerakannya dan menatapku bingung. “aku belum bilang terima kasih sama kamu sudah menemani ke Penanggungan kemarin.”
“Enggak perlu, Adara.”
Aku menggeleng keras. “Menurutku perlu.” Tanpa seizinnya aku meraih helm di belakang motornya. “Aku traktir makan malam. Kamu belum makan, kan? Ayo, aku lapar setengah mati.”
Semesta hanya menatapku bingung ketika aku cekatan mengenakan helm. “Tunggu apa lagi? Ayo berangkat!”
Motor Semesta dua kali mengitari Jalan Diponegoro dengan aku berpegangan di besi dekat tempat duduk, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk makan di Rawon Kalkulator dekat Taman Bungkul.
“Kenapa namanya Rawon Kalkulator?” tanyaku iseng kepada Semesta setelah memberikan pesanan kami.
“Karena ngitungnya tagihannya cepat banget kayak kalkulator,” jawab Semesta sambil memberikan sepasang sendok dan garpu yang sudah dilap dengan tisu. “kamu sering pulang malam kayak gini?”
“Kadang-kadang kalau kerjaan lagi banyak.” Sesaat aku teringat teman-temanku. Besok pagi aku harus bersiap dengan rentetan pertanyaan mereka tentang siapa sosok yang membuatku membatalkan makan malam.
“Pulang sendirian?”
“Iya.”
“Enggak dijemput pacar?” Pertanyaan Semesta barusan agak mengagetkan. Karena baru ketika itu aku mendapati wajahnya sedikit berekspresi dengan kerutan di dahi lebarnya.