Semesta
Dalam naungan rimba, pikiranku enggak lagi terdistori. Suara berisik orang-orang menyuruhku berangkat mencari Adara sejak aku keluar dari Kerinci enggak lagi membumbung macam angin puting beliung di atas kepala. Kekuatan hutan seperti enggak mengizinkan suara-suara berisik itu masuk ke rimbanya yang sakral. Keterasingan dengan rimba memang selalu berhasil menenangkanku.
Cuma orang-orang itu menyingkir. Adara masih jadi penghuni tetap. Kepalaku malah makin cemerlang memikirkannya. Namun, kali ini ia enggak lagi mengganggu, Adara hadir sopan seperti tamu sensus mengetuk pintu demi pintu. Dasar setan alas! Hanya di sini aku bisa memikirkan gadis itu tenang dengan rasa benci teredam sempurna, dan aku enggak suka perubahan baik ini.
Adara bukan pendaki sembrono. Sejak pengalaman pertamanya mengecup petualangan, ia selalu hati-hati. Ritual bercinta sama alam bukan sekadar acara jalan-jalan biasa. Seenggaknya itu yang dulu selalu aku katakan padanya. Selalu jadi yang paling siap. Jangan bergantung kepada lainnya. Adara selalu membawa peralatan paling lengkap, paling standar, dan selalu paling hati-hati.
Minta untuk ditinggal sendiri?
Dia pasti sudah enggak waras kalau sampai minta itu ke timnya. Penjelasan Riyan cuma kusimak sekilas kemarin malam. Aku ingin tahu langsung dari Aji. Dia bersama Adara hingga saat-saat terakhir. Apa Aji ikut-ikutan enggak waras juga? Kenapa dia mengabulkan permintaan Adara? Meninggalkan tim sendirian adalah kejahatan dalam sebuah pendakian.
Kakiku tergelincir di tanjakan terakhir sebelum pagar kayu batas hutan konservasi dan hutan lindung. Sigap kuraih akar pohon yang melintang di tengah-tengah jalur supaya badan enggak jatuh mencium lumpur. Sebagai gantinya, satu kakiku terpelosok ke dalam lumpur, mengubur sepatu gunungku hingga semata kaki.
Satu bulir keringat jatuh ke atas kelopak mata. Kuputuskan buat istirahat di batang pohon tumbang di sisi jalur pendakian. Matahari sudah lama terbit, tetapi sinarnya enggak mencapai hingga lantai hutan. Kabut justru tebal di antara tanaman paku dan alang-alang di antara pohon.
Hutan damai pagi ini. Hanya ada suara burung di kejauhan. Dua ekor lutung bermain di atas dahan. Seekor cacing sebesar lengan bayi menggeliat di dekat kaki. Binatang tanah itu sering naik ke permukaan di musim hujan begini. Cacing Argopuro memang enggak ada obat besarnya. Kutendang jauh-jauh sebelum ia menggeliat masuk ke dalam celana kargoku.
Tuntas mengejar napas, menenggak air minum dan bekal sebungkus roti modal sarapan, aku bergegas melanjutkan perjalanan. Kalau beruntung, aku bisa ketemu Aji sebelum dia berangkat nge-SAR hari ini. Aku harus tahu dulu apa yang terjadi, sebelum memutuskan tindakanku selanjutnya.
Butuh empat jam jalan kaki dari pintu masuk pendakian hingga sampai ke Danau Taman Hidup. Beberapa tenda didirikan di bawah pohon. Jauh di depannya, air danau tertutup kabut yang turun dari bukit. Hujan sejak kemarin mungkin telah membuat rawa di sekelilinginya banjir, sehingga memaksa semua orang untuk mundur, berkemah sejauh mungkin ke dekat hutan.
Orang-orang Basarnas, Koramil, dan relawan pegiat alam, baru saja memulai kegiatan pagi ketika aku datang. Enggak susah menemukan Aji di antara mereka. Tubuh besarnya paling menonjol di antara lelaki lain. Ia sedang berunding dengan beberapa orang lain di depan pohon tumbang melintang di area perkemahan. Sebuah peta topografi terbentang di antara mereka.
Aji enggak berusaha menyembunyikan keterkejutan di wajahnya sewaktu melihatku berjalan mendekat. Ada sedikit penyesalan kutangkap dari wajahnya, sama sekali enggak cocok dengan tubuh besarnya. Padahal satu kata saja belum keluar dari mulutku.
“Bangsat! Kupikir enggak jadi ke sini,” umpatnya sebelum aku sempat bicara. Orang-orang lain ikut memperhatikanku, orang asing yang tiba-tiba datang enggak pakai permisi menginvasi briefing pagi. “Berangkat jam berapa? Sendirian?”
Aji celingukan mencari entah apa di belakangku. Aku melepas jas hujan berserta carrier dan meletakkannya di atas batang pohon.
“Apa yang terjadi, Ji? Kenapa Adara hilang?” tanyaku enggak memedulikan pertanyaannya. Enggak perlu basa-basi lagi, aku harus tahu secepatnya.
Penyesalan di wajah Aji kembali dengan cepat begitu kusebutkan Adara. Ia melangkahi pohon di antara kami. Rahangnya bergerak gusar.
“Aku sudah mencarinya. Aku dan timku mencari semalaman sebelum kami menyerah. Logistik udah habis, kita enggak punya pilihan selain balik ke Bermi untuk cari bantuan. Aku bahkan udah balik ke Puncak Argo sama Puncak Rengganis. Pikirku, kalau Adara tersesat, dia pasti akan kembai ke puncak.” Kata-kata berhamburan keluar dari mulut Aji, dan selama itu matanya berusaha mengindariku.
“Puncak? Adara balik ke puncak?”
“Ditemukan bivak di Puncak Rengganis.”
Buat apa Adara bikin bivak di puncak? Bivak adalah tempat berlindung sementara yang hanya didirikan dalam keadaan daruruat. Bukankah Adara bawa tenda sendiri? Seharunys peralatannya lengkap. Lantas, buat apa dia melakukannya?
“Kenapa Adara sampai jalan sejauh itu? Kamu ninggalin dia di mana memangnya?” tuduhku kejam.
Mendengar tuduhanku, Aji makin terlihat menyesal. Ia menggusurkan telapak tangannya ke wajah frustasi. “Kalau aku tahu ini bakal terjadi, enggak akan pernah ....”
“Dancuk! Gak usah kakehan omong! Tidak perlu banyak bicara! Di mana kamu tinggalin Adara, Ji?” desisku mengulangi kata demi kata.