Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #10

Kota Cahaya Di Lembah

Adara

Harapanku sebelum naik Merbabu besok adalah bisa makan malam dengan Semesta. Berdua saja. 

Di titik ini, aku sudah tidak peduli dengan harga diri. Peduli setan kalau Semesta berprasangka buruk denganku nanti. Nyatanya Semesta itu seperti kura-kura. Urusan mendekati perempuan, dia itu lambat sekali. Tidak perlu dikatakan, kami sama-sama tahu hubungan ini lebih dari teman. 

Getaran kami selalu sama setiap kali bersama. Bentuk getaran yang sudah terbangun sejak malam pertama di Penanggungan dulu. Hanya saja Semesta sepertinya buta, atau mungkin terlalu malu untuk membuat gerakan pertama. 

Sikap Semesta selalu tenang. Semakin aku mengenalnya, aku tidak kaget lagi menghadapi sikap cueknya, atau ekspresinya yang nyaris tanpa ekspresi setiap kali menanggapi candaanku. 

Desa Selo adalah sebuah perkampungan kecil terakhir di lereng Gunung Merbabu. Letaknya persis di bawah pintu masuk pendakian. Rumah-rumah warga berjejer di jalan aspal menanjak, tepat berujung di kantor Resor Taman Nasional Gunung Merbabu. 

Para pendaki biasa singgah di rumah-rumah warga, menjadikannya sebagai tempat peristirahatan sebelum dan sesudah pendakian. Melihat ke bawah, Kota Boyolali menjadi hamparan titik-titik kecil berselimut awan. Gunung Lawu berdiri gagah di batas cakrawala. Kalau langit malam sedang cerah seperti sekarang, pemandangan di lembah berubah menjadi sebuah kota cahaya berkelap-kelip indah.

Jadi sewaktu melihat kota cahaya di lembah itu, aku berharap bisa makan malam dengan Semesta. Ada sebuah warung di depan rumah warga yang menghadap langsung ke pemandangan kota di bawah. Aku tidak mau menunggu lagi. Ada sesuatu yang perlu kusampaikan kepada Semesta. 

“Sumpah ini ... dingin ... banget.” Gigi Mika bergemeletak melawan dingin. Suaranya menyadarkanku kalau aku sedang tidak berdua saja dengan Semesta seperti di Penanggungan dulu.

Banda tahu prospek mengajak gadis kota tulen seperti Mika naik gunung itu sama saja dengan memindahkan gunung itu sendiri. Tidak mungkin. Bagi Mika, lebih baik dia keliling mal sampai kaki putus daripada menceburkan satu saja jemarinya ke tanah berlumpur. Namun, demi kesempatan petualangan lainnya bersama Semesta, aku menolak menyerah. Dengan janji bahwa lelaki-lelaki gunung itu tidak kalah tampan dan gagahnya seperti lelaki di bar langganannya, Mika akhirnya mau ikut bersamaku.   

 “Jangan duduk di sini. Sana masuk ke dalam.” Aku mendorong lengan Mika, berharap dia mau beranjak dari sampingku. 

Ada bangku panjang di dalam warung, tetapi Mika bersikeras duduk bersamaku di luar walaupun konsekuensinya udara lebih dingin menggigit sampai tulang. Aku lupa kalau Mika itu cerewet sekali, dan ini adalah pendakian pertamanya. 

“Ogah. Sini aja. Aku bisa kecipratan minyak kalau duduk dalam,” tolak Mika. Pemilik warung memang sedang menggoreng tahu dalam gelegak minyak panas. Kompornya tepat di samping bangku. 

“Kamu bisa lebih hangat kalau di dalam.” Aku masih tidak menyerah menyuruhnya pindah. Sebenarnya supaya aku bisa leluasa duduk berdua bersama Semesta di luar.

“Kalian kok enggak dingin sama sekali, sih?” tanya Mika heran melihatku dan Semesta masih nyaman dengan baju luar tanpa lindungan jaket. 

“Udah biasa,” sahut Semesta.  

“Aku pinjam jaket kamu aja.” Tangan Mika sudah siap meraih jaket di pangkuanku, tetapi aku buru-buru mendekapnya erat. 

“Jangan!” sergahku heboh. 

Mulut Mika setengah mengaga melihatku seperti sedang berlindung dari serangan jambret. “Itu enggak kamu pakai. Pinjam.” Suara Mika masih bergetar dan ia makin erat mendekap badannya sendiri. 

“Cerewet amat, sih. Udah sini aja masuk ke dalam daripada hipotermia.” Aji menyahut dari bangku di dalam. Ia menyesap kopinya santai lalu mengambil satu tempe goreng di baki depannya. Sebelum mengajakku, awalnya Semesta berencana mendaki berdua bersama Aji, temannya semasa kuliah dulu. 

Ini pertama kalinya aku bertemu teman Semesta. Aku sudah menyiapkan diri dengan berpikir temannya mungkin tidak jauh berbeda seperti dirinya. Tipikal anak gunung, kemeja flanel, celana robek, rambut gondrong. Namun, saat bertemu Aji, dia lebih mirip pria kota nyasar, penampilannya sungguh rapi. Rambutnya dipangkas pendek. Untuk ukuran seorang pecinta alam, kulitnya putih. Tubuh tinggi tegapnya terlihat menonjol di antara pendaki lain.

“Kalau gitu, anterin ke toilet dong. Kebelet, nih,” pinta Mika setelah gagal merebut jaketku. Ini sama buruknya. Rencanaku bisa gagal kalau menurutinya. 

“Aku masih laper banget, nih. Kamu ke toilet sendiri, ya?” kataku sambil mengikuti langkah Aji mencomot satu tempe. Padahal sebetulnya perutku sudah kenyang sejak tadi. 

“Gelap, Ra. Aku enggak berani.” 

Lihat selengkapnya