Semesta
Kesalahan orang terlalu berhati-hati adalah membuat orang lain menunggu. Lalu penyesalan setelahnya selalu datang terlambat.
Aku sadar sudah membuat Adara menunggu terlalu lama dalam banyak hal. Aku memang pria lambat, kebanyakan mikir, terlalu berhati-hati, dan enggak percaya sama diri sendiri. Aku mengabaikan Adara, menggantungnya di antara tautan perasaan kami berdua.
Seharusnya dulu aku enggak menunggu sampai berbulan-bulan buat menyatakan perasaanku. Andai saja aku tahu ini akan terjadi dan waktu kami singkat, enggak akan kusia-siakan waktu bersamanya.
Aku sudah menyukai Adara sejak pertemuan kami di Prambanan. Berhari-hari bersama kamera dan fotonya yang tertukar itu, kuhabiskan malam-malam mengagumi senyumnya, semangatnya, keberaniannya, dan caranya melihat dunia lewat lensa kamera.
Sebenarnya aku tahu perasaanku berbalas. Namun, dalam hati aku masih sulit percaya. Mana mungkin sih Adara suka sama aku? Aku cuma konsultan IT nomad waktu itu. Aku enggak punya pekerjaan tetap, lebih sering pergi dari satu kota ke kota lain, sementara Adara adalah wanita kota cemerlang yang cuma pantas gandengan sama lelaki mapan necis. Ke mana-mana naik mobil mentereng, makan di restoran mahal, nongkrong di kafe dan jalan-jalan ke tempat indah. Adara enggak mungkin terpikat sama lelaki sepertiku.
Aku ragu kelewat lama. Namun, Adara terus hadir seolah enggak peduli dengan semua itu. Dia wanita pertama yang melihatku bukan dari atas ke bawah, tetapi langsung ke mata. Lelaki bodoh mana yang harus disadarkan perempuannya sendiri kalau dia sudah menunggu terlalu lama? Itu aku.
Kupikir penantian Adara sudah berakhir sejak lama. Namun, gelang ini bikin aku sadar sudah salah besar. Adara enggak pernah lepas dari penantiannya, sementara aku sibuk lari-larian menghindarinya. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Di kasusku, aku terlambat lima tahun lamanya.
Gelang Adara terasa dingin di pergelangan tangan, bersanding dengan gelang hitam milikku. Rama dan Shinta sudah bersatu, tetapi pemiliknya belum.
Badai benar-benar datang lebih awal hari itu. Pencarian bahkan belum mulai, peralatan sudah dibereskan kembali. Orang-orang malah sibuk memperbaiki tali dan pasak tenda yang bablas disapu angin. Ada beberapa tim berangkat lebih awal pagi tadi. Itu pun sudah dalam perjalanan kembali karena cuaca dan medan enggak memungkinkan.
Sekali lagi aku membuat Adara menunggu. Alih-alih bergerak cepat mencarinya, aku cuma bisa diam di bawah pohon sambil lihat badai. Ya, akan kutemukan Adara. Dia enggak boleh menunggu lagi. Aku yang bodoh ini sudah enggak layak ditunggu.
“Monitor tim di Cemoro Limo.” Ical berbicara dengan HT di tangannya. Lama sahutannya cuma sambungan statis tanpa suara.
“Badai,” sahut suara dari seberang singkat. Deru suara angin menjadi gemerisik mengganggu di HT Ical.
Ical berdecak kesal sebentar sebelum kembali melanjutkan, “Perintah penarikan semua SRU di lapangan. Kalau cuaca makin buruk, sebaiknya berteduh sampai badai reda.”
Aji juga sibuk dengan HT di tangan, mengontrol relawan-relawan Temu Alam yang sudah berangkat duluan menyisir area puncak.
“SRU tujuh sama delapan sudah sampai Sabana Lonceng. Kalau badai reda akan mulai sisir Bukit Sanur.”
Ical mengangguk setuju, sementara hatiku mencelos. Seluruh pencarian dihentikan bahkan sebelum kami memulainya. Penundaan ini enggak baik. Adara bakal makin sulit bertahan dalam cuaca buruk.
Empat SRU sudah berangkat pagi-pagi sekali. Satu akan menyisir karvak di Cemoro Limo, satu lainnya adalah personil tambahan untuk SRU yang sudah lebih dahulu mendirikan posko di Sabana Lonceng untuk menyisir area puncak, dan satu SRU lagi untuk mendorong logistik berupa makanan, peralatan dan air bersih ke masing-masing posko.
Seorang pria berjas hujan datang dari dalam hutan. Ia buru-buru melepas jas hujan dan berlindung di bawah fly sheet yang dibentangkan di samping kami.
“Cak Arip?” tanyaku ragu.
Pria itu menatapku sesaat dengan dahi berkerut, sesaat kemudian wajahnya berubah cerah. “Semesta, kan? Wah, lama enggak ketemu.”
Senyum dan jabatan tangannya kubalas seperlunya. Cak Arip adalah pemilik rumah yang dijadikan basecamp pendaki di Bermi. Orang-orang Tamu Alam juga berkumpul di rumahnya sejak operasi pencarian dimulai. Ia adalah seorang anggota Basarnas Probolinggo. Kehadirannya di sini menjawab kenapa aku enggak bisa menemukan sosoknya di Bermi kemarin.
Aku sudah mengenalnya sejak pendakian pertamaku di Argopuro sewaktu masih kuliah dulu. Mapala kampus sering meminta bantuannya setiap kali diksar, dan setiap kali ada laporan pendaki hilang atau tersesat dia selalu ikut dalam pencarian.
“Sudah saya kira Cak Arip pasti ada di sini.”
“Cak Arip yang pertama datang setelah terima laporan dari tim ekspedisi.” Aji ikutan nimbrung bersama kami.
“Kamu sudah sisir ke mana saja, Cak?” tanyaku lagi sambil melihat sosoknya penuh harap. Sudah beberapa tahun ini aku enggak ketemu lagi dengannya, tetapi Cak Aripin masih tetap sama. Tubuhnya memang enggak terlalu tinggi, tetapi otot tangan dan tubuhnya kekar, kedua mata elangnya masih memberiku tatapan tajam seperti dulu kuingat waktu diksar.
“Wah, sudah keliling cari sama Aji sejak hari pertama.”
“Bapak menemukan jejak?”
Tangannya dilipat ke belakang punggung, “Ada,” jawabnya mantap.
“Di mana?” tanyaku enggak sabaran. Cak Arip adalah anggota SAR ulung. Dia ahli membaca jejak di tengah hutan. Kalau ingin tahu keadaan lapangan sejak hari pertama Adara hilang, orang ini pasti tahu semuanya.
“Hari pertama aku langsung naik ke Danau Taman Hidup. Susah baca jejak di jalur karena bukan cuma tim kalian di sana. Tapi aku ketemu jejaknya di Hutan Lumut esoknya. Di luar jalur, jauh masuk ke dalam hutan. Ada semak yang disibak sama tangan.”
“Cak Arip ikut jejak itu?”
“Sampai Cemoro Limo saja. Lepas Cemoro Limo jejaknya gabung lagi sama jalur. Waktu itu hujan terus dan masih banyak pendaki lain lewat, jadi jejak kakinya sudah campur sama orang lain.”
Hatiku mencelos. Walau Argopuro bukan gunung yang tergolong ramai, puluhan pendaki masih terus datang ke tempat ini setiap harinya. Cuaca enggak menentu dan hujan terus-terusan mengguyur, enggak mudah membaca jejaknya setelah tersapu air dari langit.