Adara
Mika tidak berhenti memberiku tatapan curiga sepanjang perjalanan turun dari puncak. Kecurigaannya bisa dimengerti. Tanganku dan Semesta saling bertaut, tidak bisa lepas dari satu sama lain. Seolah ada gelembung tidak kasat mata melingkupi kami, menjadikan dunia hanya berdenyut sebatas gelembung itu. Sikap kami jelas menunjukkan sesuatu telah terjadi di puncak.
“Bagus.” Mika mengangkat lenganku dan memperhatikan untaian manik-manik di pergelangan tangan. “Baru, ya? Aku enggak lihat kamu pakai ini waktu kita berangkat.”
Aku menunggu Semesta dan Aji masuk ke tenda mereka di sebelah sebelum berbisik di telinga Mika. “Semesta nembak aku di atas.”
Mika refleks menepuk punggungku keras dan menangkupkan tangannya untuk menutup mulutnya. “Kamu jawab apa?”
“Ya mau, lah!” jawabku cepat, bahkan sebelum pertanyaannya selesai.
“Akhirnya aku bebas dari curhatan kamu.”
“Sialan.”
Mika tertawa keras. Aku yakin sekali Semesta dan Aji bisa mendengar kami dari dalam tenda mereka. “Kalau Semesta lemot lagi, turun dari sini aku gampar anak itu. Tapi aku beneran ikut senang. Dia pria baik.”
Aku yakin pipiku merona, Mika sama sekali tidak repot-repot menurunkan nada suaranya. Aku tidak peduli, hari ini aku terlalu bahagia untuk memedulikan apa pun. Semesta resmi jadi pacarku. Hari yang sudah kutunggu-tunggu akhirnya datang. Penantianku memutus garis pertemanan di antara kami akhirnya selesai. Garis batas itu sudah lama ada, dan kami melepasnya di salah satu atap tertinggi di tanah Jawa.
Semesta mungkin bisa berlagak tenang. Sikapnya selalu seperti itu, pendiam, lurus, dan tidak banyak bicara. Berkebalikan denganku, aku tidak bisa menutupi rona bahagia di wajahku sepanjang perjalanan turun ke basecamp. Tas carrier tidak terasa berat, bahkan jalan turun terasa ringan. Aji dan Mika sampai harus jauh-jauh dari kami berdua. Aku tahu lama-lama pasti jengah juga berdekatan dengan pasangan baru.
Hari sudah terlalu sore sewaktu kami sampai di pos pendakian. Kami memutuskan untuk kembali menginap sehari lagi di rumah Pak Bari, salah satu warga Selo yang rumahnya dijadikan basecamp oleh para pendaki. Ia membuka toko perlengkapan pendakian di depan rumah. Anak tertuanya menyediakan transportasi antar jemput pendaki sampai ke pintu pendakian di dekat rumah mereka. Sedangkan istrinya membuka dapur rumah untuk melayani kebutuhan perut para pendaki.
Belasan pendaki terlelap dalam kantong tidur masing-masing di ruang tamu rumah Pak Bari. Aku membangunkan Semesta begitu suara muazin selesai menyuarakan azan subuh di satu-satunya musholla Desa Selo. Asap mengepul dari dua cangkir kopi panas yang baru kuseduh. Aromanya menguar ke seluruh ruangan. Mata Semesta masih merah, air mukanya kelelahan setelah pendakian kemarin.
“Mau ke mana, sih?” protesnya dengan suara parau. Aku meraih tangannya dan memaksanya keluar dari dari kantong tidurnya.
Ada ladang daun bawang di belakang rumah Pak Bari. Untuk mencapainya kami harus melewati jalan sempit di belakang kamar mandi dan tempat sampah penuh bungkus mie instan dan cangkang telur ayam. Di petak tinggi itu, kami bisa melihat Gunung Merapi di belakang, Kota Boyolali dengan Gunung Lawu di batas cakrawala dan sebuah bukit yang melingkupi Desa Selo.
Panas kopi menguap sebelum matahari terbit. Udara terbuka membuatnya lebih cepat dingin. Aku dan Semesta duduk di pematang ladang, memandangi desa dari atas. Setelah ramainya pendakian akhir pekan kemarin, seluruh desa seolah sedang terlelap mengumpulkan tenaganya kembali. Hanya ada segelintir pendaki bersiap naik. Beberapa warga desa berangkat ke ladang untuk memanen hasil kebun sebelum truk pengangkut sayur datang.