Semesta
Tetes hujan di atas kain parasut tenda lama kelamaan terdengar seperti irama statis. Angin ribut sudah berhenti, enggak lagi menggoyangkan rangka tenda. Cuma tinggal suara kesiurnya dari kejauhan.
Aku menatap kosong risleting tenda tertutup, sambil membayangkan hujan berat di luar. Beberapa kali HT berbunyi. Kayaknya Aji sengaja meninggalkannya di sini supaya aku bisa dengar sendiri laporan dari teman-temannya. Semuanya mengatakan hal serupa. Cuaca buruk, medan sulit, enggak memungkinkan kembali.
Tiba-tiba risleting tenda dibuka dari luar. Aji membungkuk dan melongokkan kepalanya ke dalam. Sudah enggak ada amarah di wajahnya. Sebagai gantinya, tangannya menyodorkan gelas aluminium berisi kopi panas.
Ia meletakkan gelas di tangannya di hadapanku ketika aku cuma bergeming, lalu ikut duduk di ambang pintu tenda. Setengah tubuhnya masih diluar, membiarkan hujan membasahi kaki telanjangnya. Aku bisa mendengar suara rendah percakapan orang-orang di luar. Di depan tenda, fly sheet dibentangkan dan diikat di antara dua pohon. Lima orang mengelilingi kompor di tengahnya untuk menghangatkan diri.
“Bakal lama ini hujannya. Relawan Temu Alam udah ada di atas, mereka akan akan coba sisir lembah di bawahnya Puncak Argo begitu hujan reda.” Aji berkata tanpa melihatku. Ia menatap lurus ke depan, suaranya sedikit tenggelam dengan suara hujan.
Memang enggak gampang nge-SAR di tengah cuaca seperti ini. Apalagi cuaca di Argopuro terkenal enggak bisa diprediksi. Musim hujan begini, lebih banyak kemungkinan badai di puncak.
Aku tahu betul bagaimana prosedurnya, tetapi ingin kubantah semua itu. Andaikan aku bisa melakukan sesuatu, aku ingin menembus badai dan berangkat sendiri mencari Adara. Meskipun aku tahu itu adalah tindakan bunuh diri.
“Besok ada Mapala dari Malang ikut gabung sama kita.” Aji memutar kepalanya, ujung matanya melihatku. “Aku janji bakal temukan Adara.”
Akhirnya aku mendesah. Bibir dan pipiku masih berdenyut sakit akibat pukulan Aji tadi. Rasa sakitnya tinggal lebih lama, amarahnya sudah enggak lagi. Aji benar, aku harus mulai berpikir pakai otak kalau ingin Adara ketemu.
Sekarang aku mengerti kenapa keluarga survivor jarang sekali diajak ikut dalam operasi pencarian. Emosi akan menguasai mereka, membuatnya enggak bisa berpikir rasional, dan malah akan membahayakan seluruh tim. Itu semua sudah kurasakan.
Buru-buru kuusir segala pikiran buruk. Kurogoh dompet dari saku celana. Aji ikut bersingsut masuk sepenuhnya ke dalam tenda. Pintu tenda dibiarkan terbuka, udara segar menyeruak dan menggantikan pengap di dalam. Percikan hujan ikut lolos membasahi pinggir tenda.
“Sek kamu simpan ternyata,” komentar Aji memperhatikan tanganku bergerak mengeluarkan lipatan kertas kecil dari dompet.
“Selalu,” sahutku cepat. Begitu lipatan itu kubuka, kenangan-kenangan yang tadinya enggak aku izinkan hadir langsung seenaknya nyelonong tanpa permisi berkelebatan di depan mata.
Aku memandangi fotoku bersama Adara bergandengan naik ke Puncak Trianggulasi di Merbabu. Aji dulu mengambil foto ini tanpa sepengetahuan kami. Aku menuntun Adara dan kami tersenyum saling bertatapan. Separuh wajahku berpaling, tertutup rambut panjangku, tetapi senyum di wajah Adara jelas sekali.
Lembar foto berukuran kecil itu kuselipkan di bagian paling sudut dompetku selama ini. Ada garis membelahnya menjadi empat bagian karena kulipat sedemikian rupa. Sengaja, agar ketika aku membuka dompet, gambar itu enggak selalu muncul. Bentuk kenangan yang selalu ingin kusimpan, tetapi enggak untuk dilihat setiap saat.
“Kalian sama-sama belum move on.”
Aku menertawai perkataan Aji. Menyimpan kenangan bukan berarti aku enggak bisa melupakan. Aku sudah merelakan Adara sejak lama, memutuskan menyerah adalah keputusan kami berdua. Dalam benak Adara aku cuma sampah.