Adara
Semesta masuk ke ruang IGD tergesa-gesa. Tidak susah menemukan sosoknya di antara para perawat, dokter, dan pengunjung rumah sakit. Aku melambai padanya dari sisi ranjang untuk menarik perhatiannya. Begitu mata kami bertemu, langkahnya makin cepat. Pandangannya bergantian melihatku dan Banda yang terbaring lemah di ranjang ruat gawat darurat.
“Banda kenapa?” tanyanya dengan napas sedikit terengah, Ada sedikit lingkaran hitam di sekitar matanya. Gurat-gurat kelelahan masih terlihat jelas di wajahnya. Ketika aku meneleponnya tadi, istirahatnya pasti belum tuntas setelah mendaki Merbabu kemarin.
“Hasil labnya baru saja keluar. Kata dokter kena tipes. Begitu aku datang dia sudah panas banget. Ternyata sudah sakit sebelum kita berangkat ke Boyolali, tapi dia enggak mau bilang.” Panik dan gelisah sejak tadi kutahan seorang diri tumpah dalam bentuk rentetan kata-kata tidak beraturan.
Mataku mendadak panas. Tidak mudah menjadi kakak kuat dihadapan Banda. Aku buru-buru bangkit dan berpaling membelakangi ranjang supaya Banda tidak bisa melihat air mataku.
Semesta menarikku ke dalam pelukan singkatnya. Lalu ia beralih mendekati Banda, memberiku kesempatan terisak lebih leluasa.
“Kok bisa sakit, sih?” tanyanya enteng. Kedua tangannya terlipat di dada, sekilas ia melirik cairan infus tinggal separuh menggantung di atas kepala Banda.
“Iron man aja bisa sakit. Kamu pikir aku super human?”
Tanganku menyapu air mata. Di saat bersamaan juga menggigit bagian dalam bibirku demi menahan tawa. Banda itu berani sekali untuk anak seumurannya, ia bahkan tidak gentar menghadapi Semesta. Padahal usia mereka berbeda jauh, aura permusuhan justru selalu menguar setiap kali mereka bertemu.
“Ya kali saja kamu suntik serum gamma waktu ditinggal kakak kamu pergi kemarin,” canda Semesta.
Banda sama sekali tidak menganggap kalimat Semesta lucu. Sekarang ia malah melemparkan tatapan aneh kepadanya. “Gamma itu sinar radiasi elektromagnetik dari nuklir. Bukannya kamu anak teknik ya, Mas? Aku pikir semua anak teknik itu otaknya encer.”
“Kamu pikir kenapa anak teknik itu susah lulusnya?” kilah Semesta. Tangannya kemudian terulur menuju kening Banda. Gesit, Banda menyentakkan tangan Semesta.
“Mau ngapain?”
“Mau cek, masih panas enggak.”
“Udah enggak,” jawab Banda ketus. Sejurus kemudian ia batuk-batuk, dan seulas senyum lolos dari bibir Semesta.
“Nanti pasti panas lagi. Tipes itu biasanya panasnya naik turun,” selaku.
Banda ganti beralih kepadaku. “Kamu cerewet banget Mbak sejak tadi. Udah kubilang aku enggak apa-apa. Istirahat di rumah saja udah pasti sembuh.”
“Tipes itu enggak bisa diobati pakai obat warung. Enggak bisa sekadar istirahat di rumah. Kamu dengar apa kata dokter tadi, kan? Harus istirahat total di rumah sakit. Kenapa enggak bilang kalau sakit? Tahu gitu kan, aku enggak berangkat kemarin.”
“Mana aku tega,” potong Banda. “Kamu udah ngomong soal Merbabu berhari-hari. Packing aja seminggu sebelum berangkat.”
Aku menepuk lengannya keras saking gemasnya. Bertahun-tahun hidup berdua saja, masih tidak bisa membuka matanya kalau hanya dia yang paling penting buatku. Banda akan selalu ada di nomor satu skala prioritasku. “Buat kamu, mau itu kutub utara juga bakal aku samperin. Lain kali bilang kalau sakit. Jangan diam saja!”
“Iya. Iya.” Banda menjawab dengan muka ditekuk. Wajahnya masih merah dan matanya lesu tidak bertenaga. Mendadak aku sedikit menyesal sudah memarahinya.
“Akhirnya kamu jadi sakit begini, kan.” Aku meraih ujung selimutnya dan menaikkannya sampai di bawah lehernya. Pendingin udara disetel kelewat dingin di IGD, aku takut kalau Banda malah makin kedinginan.
“Ra,” tegur Semesta. “Yang penting sekarang Banda udah enggak apa-apa.”
“Kamu enggak tahu gimana khawatirnya Mbak tadi. Aku takut banget kamu kenapa-kenapa. Kalau Ibu sampai tahu ....” Aku kembali berbalik memunggungi ranjang demi menyembunyikan air mata yang kembali merebak. Kali ini satu isakan tidak sengaja keluar dari mulutku. Menyebut ibu terlalu berat. Rasa sakit kehilangannya masih terasa bagaikan luka menganga bahkan setelah bertahun-tahun kemudian.
“Mbak.” Suara Banda terdengar parau. Aku merasakan ujung kemejaku ditarik samar. “Jangan nangis. Aku enggak mau kamu gagal pergi gara-gara aku. Kamu kelihatan senang banget setiap kali pergi sama Mas Semesta. Aku udah gede, bisa jaga diri sendiri.”
Aku udah gede. Setiap kali Banda mengatakannya, hatiku selalu remuk. Di mataku dia akan selalu jadi adik kecilku. Banda kecil pulang ke rumah meraung-raung dalam tangisannya sambil mengadu pada ibu dan aku soal temannya yang jahat di sekolah.
Kehilangan ibu memang mengubah kami berdua. Kehilangan orangtua kurasa turut mengubah perspektif Banda. Kadang aku merasa pikirannya terlalu dewasa untuk pemuda tujuh belas tahun. Aku hanya berpura-pura menjaga Banda selama ini. Justru dialah yang menjagaku