Semesta
“Adaraa!!”
Teriakanku menggema. Batang-batang pohon di Hutan Lumut memantulkannya sempurna selama beberapa detik sebelum mencapai telingaku kembali. Aku menajamkan indra. Baru kali ini keheningan hutan terasa menjengahkan. Selain suara burung dan gemerisik kera di atas pohon, teriakanku enggak menerima balasan apa pun.
Hutan Lumut adalah jalur rimba setelah Danau Taman Hidup. Pendaki dari Bermi biasanya melewati tempat ini dalam perjalanan menuju puncak. Sedangkan kalau pendakiannya lintas jalur dari Baderan, jalur ini akan tetap dilewati sebagai jalur pulang sebelum mencapai danau. Seluruh tim hari ini dipecah menyisir enggak kurang dari dua puluh karvak di sekitar danau sampai Puncak Argopuro.
Semakin jauh menembus hutan, udara makin lembap. Meskipun matahari sudah di puncak kepala, sinarnya hanya mampu menembus sedikit sela-sela dedaunan. Sedangkan lantai rimba dikuasai kabut tipis di antara tanaman semak dan perdu. Pohon sapen saling bertetangga dengan pohon pasang, membentuk vegetasi rapat dan menjulang tinggi. Tengkuk leherku terlipat sampai mencapai batas maksimalnya ketika mendongak ke atas pohon.
Ini memang bukan jalur pendakian umum. Aku bergabung dengan kelompok SRU Pak Arip makin jauh ke dalam hutan. SRU Fandi ikut bergabung bersamaku, ia adalah salah satu anggota tetap ekspedisi Atap Tanah Jawa disamping Aji dan Adara.
“Sudah masuk karvak tujuh belas. Sedang menjelajahi sisi timur Hutan Lumut. Jumlah personil ada enam orang.” Fandi melaporkan situasi dan posisi kami lewat HT pada tim Aji di Cemoro Limo.
“Diterima. Kabari kalau menemukan petunjuk. Selalu hati-hati.” Aji menyahut beberapa detik kemudian.
Sepatuku melesak dalam tanah berlumpur ke mana pun kaki melangkah. Aku makin hati-hati bergerak demi menghindari jelatang liar. Terkena daunnya sedikit saja bisa terkena serangan gatal.
Matahari bersinar terik. Aku optimis pencarian hari ini akan membuahkan hasil. Setelah menyia-nyiakan sehari karena badai kemarin, hari ini kami harus bekerja ekstra demi mengejar ketinggalan.
“Adaraa!!” teriakku sekali lagi, tetap enggak ada jawaban. Hanya suara-suara dalam otakku yang balik berteriak kepadaku. Setetes air jatuh ke atas kepala. Lumut putih yang tergantung di batang-batang pohon meneteskan air bekas hujan semalam. Anggrek epifit hidup menumpang di dahan sampingnya. Kesunyian Hutan Lumut memang mencekam. Karena itulah kami bergantian memanggil nama Adara agar bulu kuduk enggak meremang.
“Kalau menurut insting kamu Cak, Adara jalan ke mana?” lagi-lagi aku bertanya kepada Cak Arip. Pengalaman bertahun-tahun pasti membuat instingnya lebih tajam dari semua orang di tempat ini.
Bukannya langsung menjawab, Cak Arip malah diam sambil berpikir. “Jejaknya hilang di Cemoro Limo. Dia bisa ke mana saja dari situ. Karena itu Ical sebar semua orang sama gedein area pencarian.”
Aku bukannya enggak tahu. Aku tahu persis alasan kenapa SRU sampai ditugaskan ke puncak. Setiap tempat yang punya kemungkinan disinggahi survivor harus disisir. Aku cuma bosan mutar-mutar dengan pertanyaan sama di kepala. Aku ingin seseorang mengatakan hal lain. Namun, sepertinya percuma. Semua orang punya pertanyaan dan jawaban sama. Enggak ada yang tahu alasan Adara pergi sejauh ini.
“Sudah berapa lama kenal Adara?” Fandi bertanya di sampingku.
“Cukup lama,” jawabku singkat.
“Kenapa aku enggak pernah tahu Adara menyebutkan kamu?” tanyanya lagi. Kali ini aku merasa dia terdengar penuh selidik. Sosoknya berdiri di sampingku, rambut cepaknya dibalut kain penutup kepala, dan kedua tangannya saling bertumpu pada sebuah batang kayu.
“Sejak kapan kamu ikut Ekspedisi Atap Jawa?” tanyaku balik. Pilihanku enggak menjawab pertanyaannya mengundang senyum meremehkan yang dilemparkannya kepadaku.