Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #18

Melawan Gravitasi

Adara

“Kenapa kamu cinta sama aku?”

“Apa cinta butuh alasan?”

Semesta mengedikkan bahunya ringan. “Aku enggak ganteng. Coba lihat aku, aku gondrong, hitam, penampilanku selalu urakan gini. Bahkan satpam kantor kamu mengira aku debt collector, kan?” 

Aku tergelak, terkejut Semesta masih mengingat peristiwa setahun lalu. Aku tidak pernah tahu alasannya. Mungkin aku jatuh cinta kepadanya di Penanggungan, karena gapaian tangannya kala itu memaksaku supaya tidak menyerah. Mungkin juga di pertemuan pertama kami aku sudah terpukau kepadanya. Bisa jadi aku mencintainya karena kesabarannya, perhatiannya kepadaku, dan sikapnya yang walaupun terkadang dingin, diam-diam dia masih memperhatikanku. 

Semakin banyak alasan bermunculan, aku malah tidak pernah bisa menentukan salah satunya. Sampai aku sadar, jatuh cinta tidak memerlukan alasan. Aku hanya perlu sepenuhnya jatuh tanpa usaha melawan gravitasi. Untuk sepenuhnya kasmaran tanpa perlu jaring pengaman.  

Air danau Ranukumbolo berkilauan ditempa cahaya matahari pagi di balik punggung Semesta. Matahari baru saja terbit di balik dua lereng bukit yang membentuk satu irisan sudut di tengah danau. Beberapa pendaki berjongkok di bibir danau untuk mengisi botol-botol persedian air. 

Sebuah brand alat-alat kegiatan outdoor menggelar acara pendakian bersama di Ranukumbolo dan Pegiat Alam menjadi salah satu sponsornya. Semesta mengajakku ikut, ada beberapa orang lain dari Pegiat Alam datang bersama kami. Aji dan Semesta merekrut beberapa orang karyawan agar mereka bisa berkonsentrasi ke urusan lebih penting. Aji sendiri tidak ikut karena ada pertemuan beberapa calon investor untuk mempresentasikan model bisnis mereka. Dari awal Aji memang sudah mengambil alih pengembangan bisnis Pegiat Alam, sedangkan Semesta bertanggung jawab atas pengembangan program dan produk. 

Aku mendongak menatap Semesta, ia masih menunggu jawabanku. “Kamu sendiri kenapa suka sama aku?” 

“Enggak tahu,” jawab Semesta tanpa berpikir. Ia mundur dan matanya memperhatikanku saksama. “Kalau body, aku bisa cari cewek yang lebih seksi dari kamu.” 

Aku spontan menimpuk punggungnya keras. Semesta hanya tertawa puas melihatku kesal. Ia mengusap dagu dan mengelus puncak kepalaku. “Bu Kebo enggak bisa diajak bercanda, nih.” 

Jarang sekali Semesta memanggilku dengan panggilan Bu Kebo. Memang itu bukan panggilan sayang termanis, tetapi hatiku selalu menghangat setiap kali ia melakukannya. 

Seharusnya waktu itu aku memberitahunya alasan-alasan kenapa aku jatuh cinta kepadanya. Kenapa aku rela membiarkan diriku melawan gravitasi untuk jatuh ke tempatnya. Ada banyak sekali hal-hal tidak dikatakan di antara kami. 

“Terima kasih, ya. Sudah ajak aku ke sini untuk ulang tahunku.” 

Tepat hari ini aku berulang tahun. Bangun pagi dengan pemandangan matahari terbit dari batas cakrawala di Ranukumbolo menjadikannya ulang tahun terindah buatku. Kuputuskan ini adalah pendakian terindah yang pernah kulakukan Yah, aku memang belum banyak naik gunung. Namun, gabungan pemandangan indah di depanku dan Semesta di sisiku saja sudah cukup menjadi hari untuk dikenang selamanya. 

“Kamu minta apa buat ulang tahun ke dua puluh enam?” tanya Semesta lagi. Matahari sudah meninggi di tengah dua bukit yang membatasi danau. Di depan kami, mulai ramai pendaki berfoto dengan latar belakang air Ranukumbolo berkilauan. Walaupun pendakian kali ini tidak sampai puncak, aku tetap senang bisa pergi ke Semeru dan menyaksikan keindahan Ranukumbolo. 

Lihat selengkapnya