Adara
Tunjungan Plaza selepas pukul lima sore di hari Senin tidak terlalu ramai. Orang-orang sepertinya lebih memilih langsung pulang setelah penat seharian daripada memperpanjang malam dengan nongkrong di kafe. Aku juga sesungguhnya lebih memilih meringkuk di kasur andai saja Bisma tidak bersikeras mengajakku bertemu di Starbucks.
Bisma melambai dengan kedua tangan terangkat ke udara begitu melihatku. Sebuah laptop menyala di hadapannya. Bibirnya melengkung sempurna. Dari caranya menarik perhatianku dia sangat antusias dengan pertemuan kami. Ini adalah kali kedua kami bertemu setelah peristiwa toko buku itu. Kami hanya sempat bertukar nomor ponsel dan bertukar pesan setelahnya.
“Akhirnya bisa juga nyolong jadwalnya ibu konsultan sibuk,” ledek Bisma.
Aku memilih tidak menanggapi candaannya dan duduk di sampingnya. “Kalau aku ke sini cuma buat dikritik mendingan aku pulang, deh.”
Bisma mengeluarkan satu bendel kertas dari dalam tasnya dan meletakkannya di tengah meja. Aku mengenali itu sebagai naskahku. Duduk di depannya dengan prospek membahas hasil tulisan pertamaku setelah bertahun-tahun vakum menulis fiksi sungguh di luar dugaan.
Aku tidak pernah berpikir akan kembali menulis setelah bertemu Bisma. Ia membombardirku setiap kali kami chatting. Awalnya aku bahkan tidak menanggapinya, tetapi tiap hari ajakan Bisma makin gencar hingga membuatku jengah juga.
Tidak bisa dimungkiri bertemu Bisma membangkitkan kenangan di tahun-tahun masa kuliah dulu. Masa ketika kami hanya berdua menghabiskan berjam-jam di ruangan UKM untuk membedah dan berdebat soal naskah masing-masing. Aku rindu akan sosoknya, bagaimanapun dia salah satu teman akrabku masa kuliah dulu sebelum kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Selain itu, bertemu lagi dengan Bisma juga mengembalikan kerinduanku untuk menulis.
Tidak seperti masa kuliah dulu, ketika bermimpi dan berkhayal adalah bentuk kemerdekaan paling hakiki, jemariku sudah kelewat kaku untuk disuruh mengarang fiksi lagi. Semenjak dahulu aku memang hanya paling jago dalam hal menulis cerpen. Aku tidak pernah berhasil menuntaskan satu pun novel. Sekarang jangankan novel, aku bahkan tidak ingat kapan kali terakhir menulis buku harian.
Naskah di tengah meja penuh dengan coretan. Aku hanya sekilas meliriknya sebelum kembali menatap Bisma. “Benar, kan? Percuma deh kamu ajakin aku nulis lagi. Level kita sudah berbeda. Selamanya aku enggak akan pernah bisa menjadi seperti kamu.”
Dulu sebagai seorang mahasiswa Sastra Indonesia tingkat akhir, Bisma selalu merasa punya wewenang untuk mengoreksi segala kesalahan tata bahasa dan logika cerita pada naskahku. Aku tidak suka kalau dia melakukannya. Sama halnya seperti membiarkan seseorang memasuki ranah pribadi dan memporak-porandakan segalanya yang menurutku sudah tertata rapi.
“Pasti. Aku penulis bestseller nomor satu di Indonesia. Jangan coba-coba jadi sainganku, Ra,” ucap Bisma percaya diri. Penampilannya boleh berubah, tetapi dia masih seperti Bisma yang kukenal. Usil sekali dan suka menggoda temannya sendiri. Caranya mudah tersenyum, seiring kedua mata menjadi dua garis lengkung itu juga masih sama.
“Sombong,” komentarku sambil memutar bola mata. “Jadi tulisanku jelek?”
“Dari skala satu sampai sepuluh, kamu tidak payah-payah banget. Aku kasih kamu tujuh, deh. Kalau ada lomba cerpen, kamu mungkin akan masuk seratus besar, tapi tidak cukup buat jadi pemenang.”
Aku tergelak. Jadi bagian seratus orang dari ribuan penulis itu sudah sangat bagus. Sayangnya Bisma tidak gampang puas. Sejak dahulu dia selalu perfeksionis.
“Apa yang Mas Bisma harapkan? Sudah tahunan aku berhenti nulis. Aku nulis cuma buat senang-senang. Bukan mau jadi profesi seperti kamu. Ikutan lomba? Kita sudah ketuaan buat itu,” sanggahku.
Bisma mengangkat tangannya untuk menghentikanku bicara, tatapannya mendadak sedikit murung menatapku. “Kamu masih punya itu, Ra. Sentuhan kamu masih sama. Apa yang terjadi? Kita dulu sama-sama bermimpi menjadi penulis dan karya kita dipajang di rak buku bestseller.”
Hidup. Hanya satu kata yang bisa menjawab pertanyaan Bisma. Hidup mengambil alih semua mimpi dan menerjunkanku ke bentangan realitas pahit. Setahun sebelum lulus kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, ibu sakit keras dan ayah pergi meninggalkan kami semua. Fokusku terbagi antara rumah, ibu, dan Banda. Aku tidak punya waktu lagi untuk Bisma dan kegiatan kami. Hobi adalah sebuah kemewahan kala itu, aku tidak punya waktu berandai-andai menggapai mimpi. Aku hanya ingin cepat lulus dan segera mendapatkan pekerjaan untuk menjaga dapur tetap mengepul setiap hari.
Susunan kalimat itu sudah tertata di luar kepala. Namun, alih-alih mengatakannya, aku kembali menelan semua bulat-bulat dan berkata, “Duitnya banyakkan jadi konsultan keuangan.”
Bisma terkekeh, matanya mengedik penuh arti padaku. “Tapi cuma menulis yang bisa bikin hati kamu puas.”
Perkataan Bisma seratus persen benar. Seluruh perasaanku tumpah ruah dalam untaian kata, kalimat, dan susunan paragraf demi paragraf. Lalu aku mendapati diriku mendapatkan kepuasan tidak terkira setelah selesai, tidak peduli kalau setelahnya Bisma menghina naskahku jelek. Aku tidak mendapatkan kepuasan yang sama sewaktu menyusun laporan keuangan atau audit perusahaan klien.
“Aku bisa jadi mentor kamu lagi,” tawar Bisma santai bahkan sebelum aku membalas perkataan sebelumnya.
“Demi apa aku bisa jadi murid seorang penulis terkenal seperti Bisma Aditya,” kelakarku.
Bisma memajukan tubuhnya santai sambil memainkan sedotan di gelas minumannya. “Aku masih sama, Ra. Aku mentor kamu sewaktu di kampus dulu. Come on, Ra. Like the old times.”
Like the old times. Ingatanku terlempar ke masa-masa ketika kami masih sama-sama aktif di kampus. Ketika semuanya masih baik-baik saja dalam hidupku, dan aku masih bisa bebas berpikir tentang masa depan. Termasuk juga kemungkinan seorang Bisma Aditya menyukaiku, adik kelasnya di kampus. Satu-satunya benang merah menghubungkan kami adalah suka menulis, dan itu cukup memberikanku dorongan meyakini cintaku berbalas.
Tahun-tahun berlalu. Ketika aku menatap mata yang sama detik ini, hatiku sama sekali tidak bergetar seperti dahulu. Ketika seseorang jatuh cinta sedalam-dalamnya pada seseorang, sulit melihat bentuk cinta lain di sekitarnya.
“Bukannya jadwal kamu sibuk banget, ya? Seorang Bisma Aditya enggak mungkin ada waktu luang buat mengoreksi tulisan penulis amatiran kayak aku, kan?”
“Kamu email saja. Aku pasti koreksi.” Bisma menggunakan kata koreksi alih-alih baca. Seolah yakin tulisanku butuh sekali koreksinya. Aku tidak menolak. Nyatanya tulisanku memang jelek. Walaupun Bisma temanku, mendapatkan bimbingan langsung darinya tetap sebuah jackpot. Orang lain harus membayar mahal demi kesempatan ini.
“Aku harus bayar berapa?”