Adara
Editor in Chief Jejak Media tertarik sama naskah kamu. Ketemu besok siang di kantor. Sekalian nego kontrak.
Sudah berulang kali pesan dari Bisma kubaca, tetapi aku masih mendapati diriku sulit memercayainya. Aku baru saja kembali menulis, tidak masuk akal rasanya kalau seorang editor profesional menyukai tulisanku. Selain lomba, aku tidak pernah mengirimkan naskah ke penerbit. Setiap cerpen-cerpen buatanku selalu jadi konsumsi teman dekat, termasuk Bisma.
Sekarang ketika aku berhadapan dengan draf kontrak pertamaku, rasanya masih tidak nyata. Tidak pernah dalam mimpi terliarku akan datang hari seperti ini. Ketika seseorang dari penerbit besar sekelas Jejak Media tertarik dengan naskahku dan berniat menerbitkannya untuk dibaca banyak orang.
“Kamu akan dapat royalti sepuluh persen untuk setiap buku yang terjual. Kita juga akan promosikan buku kamu. Detail promosi ada di kontrak.” Suara Ratna menarikku kembali ke kenyataan. Sebagai editor senior di Jejak Media dia sepertinya sudah banyak makan asam garam menghadapi penulis bau kencur sepertiku yang hanya bisa melongo katrok memandangi kontrak penerbitan pertamaku.
Aku mengerjap, tidak memutus pandanganku dari kontrak di tangan. Seakan takut kalau aku melakukannya, kontrak ini akan menghilang dan aku terbangun dari mimpi.
“Saya baca dulu, ya,” kataku pelan. Sebenarnya aku tidak perlu melakukannya. Aku pasti akan menerima tawaran Jejak Media. Hanya saja aku ingin punya posisi tawar lebih baik dengan tidak bersikap buru-buru.
Royalti sama sekali tidak terbesit di pikiranku. Bukan soal berapa pundi-pundi yang akan kuhasilkan dari sini, aku hanya ingin orang lain mengetahui suaraku dan membaca ceritaku.
“Kamu sudah selesai nulis berapa bab?” tanya Ratna lagi. Usianya mungkin hanya berjarak beberapa tahun lebih tua dariku, tergolong muda untuk seseorang dengan jabatan editor senior.
“Sekitar dua puluh. Mungkin akan selesai di bab lima puluh. Jadi masih kurang setengahnya lagi.”
“Bisma jarang sekali menawarkan naskah orang lain. Premis cerita kamu menarik. Dari tiga bab pertama aku suka sama ceritanya.
“Benar kataku, kan. Kamu masih punya sentuhan itu, Ra,” sahut Bisma. Aku sama sekali tidak tahu apa yang Bisma maksud dengan sentuhan. Selama ini aku hanya menulis apa yang hatiku ingin suarakan.
“Kamu ke mana saja, Adara?” Ratna menarik satu sudut bibirnya sambil mengedikkan matanya pada kontrak di tanganku. “Semoga kita bisa kerjasama setelah ini. Saya sendiri yang akan jadi editor kamu nanti. Kirim ke saya naskahnya kalau sudah selesai. Jangan ke Bisma lagi. Setelah kamu tanda tangan kontrak, segala isi cerita akan jadi rahasia antara kamu dan saya.”
Bisma memegangi sebelah dadanya seolah baru saja terkena serangan jantung. “Aku yang menemukan emas, tapi kamu menambangnya habis-habisan.”
“Kalau kamu sendiri jadi editor, Adara pasti keberatan.”
“Benar. Aku enggak mau dikira kasih kamu sogokan supaya bisa masuk Jejak Media, karena kita teman satu kampus dulu,” timpalku sambil menyipitkan mata melihat Bisma sinis.
“You are in a good hand. Ratna editor terbaik di sini,” ujar Bisma sambil mengedikkan kepala ke arah pintu ruang meeting yang tertutup beberapa saat kemudian. Ratna masih ada di dalam ketika aku keluar dan Bisma memilih untuk mengikutiku.
Draf kontrak masih kudekap erat di dada, seolah itu adalah benda paling berharga penyelamat dunia dari kehancuran.
“Aku masih belum bisa percaya ....” Kata-kataku menggantung di udara. Semua yang terjadi hari ini seperti mimpi. Aku merasa bisa bangun kapan saja. “Kamu enggak maksa Mbak Ratna untuk terima naskahku kan, Mas?”
“Ratna itu orangnya pemilih. Dia bahkan jarang sekali mau baca naskahnya penulis baru. Kalau dia hanya sekadar tertarik, naskah kamu mungkin akan dilempar ke editor lain.” Bisma meyakinkanku.
“Beneran ini rasanya seperti mimpi.” Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Ketika aku membuka mata, Bisma masih ada di hadapanku dengan kerlingan jail di matanya. Ternyata ini bukan mimpi, atau aku masih yang belum terbangun.
“Kamu sudah sesenang ini padahal masih harus melewati proses editting sama Ratna. Bayangin kalau nanti beneran sudah terbit dan buku kamu dipajang di toko buku kami.”
“Ini sudah sangat sempurna, Mas. Aku sudah senang banget tulisanku akan dibaca banyak orang.”
“Itu namanya semangat penulis sejati, Ra. Tulisan terbaik datang dari hati, bukan karena royalti.”
Bibir Bisma setengah terbuka, tetapi ia kelihatan ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Tangannya lebih dulu terangkat dan jemarinya menyapu pundakku lembut. Ia bertahan beberapa detik lebih lama dari seharusnya. “Aku senang bisa ketemu kamu lagi,” ujarnya pelan.
Semesta sudah menungguku di resepsionis. Dia janji menjemputku di sini. Akhirnya setelah dua minggu, ini adalah kali pertama kami bertemu. Aji sudah teken kontrak dengan sebuah konsorsium untuk pendanaan proyek mereka.