Adara
Terkilir dalam perjalanan turun pendakian Gunung Prau adalah hal terakhir yang kuharapkan. Melangkah di jalinan akar pohon hutan sepanjang jalur pendakian Patak Banteng memang butuh langkah hati-hati. Sialnya, salah satu kakiku memutuskan bertaut lebih lama di salah satu akar melintang, sehingga tubuhku tidak punya pilihan selain terjerembab ke tanah.
“Mbak, hati- hati!” seru seseorang hampir bersamaan ketika bibirku mencium tanah berpasir. Sebuah tangan berusaha membantuku berdiri. Sementara tangan seseorang lainnya mengibaskan pasir di sekujur tubuhku.
Detik ketika aku mencoba melangkah, rasa sakit langsung melingkupi pergelangan kakiku. Daerah sekitar mata kakiku berdenyut sakit sekali. Dua orang penolongku buru-buru membantuku duduk di atas akar pohon di tengah jalur. Lelaki yang membantuku buru-buru melepas tas carrier dari pundakku dan meletakkannya di tanah. Sementara teman perempuannya cekatan melepas sepatuku lalu mengeluarkan krim oles untuk pertolongan pertama.
“Teman kakak ke mana?” tanya gadis di depanku sambil mengoleskan krim di kakiku.
Aku mengernyit menahan sakit. “Aku sendirian saja,” desisku.
Mereka berdua saling berpandangan heran. Lalu ganti melihatku dari kepala sampai ujung kaki. “Serius, Kak?”
Aku mengangguk. “Terima kasih obatnya. Sini, aku bisa pijat sendiri.” Aku menghentikan pijatannya di kaki sambil melemparkan senyum penuh syukur. Ia lalu ganti meraih botol minum di samping tasku dan menyodorkannya kepadaku.
“Minum dulu, Kak.”
Aku pun menegak sisa air dari botol hingga habis.
Jangan pernah meremehkan setiap pendakian. Enggak peduli seberapa mudahnya medan. Alam enggak akan tinggal diam sekalinya diremehkan. Tiba-tiba saja perkataan Semesta menggema di kepalaku.
Ketika akan turun, aku memang berseloroh kalau perjalanan ini akan mudah. Tidak seperti berangkat yang memerlukan tenaga ekstra untuk meniti tanjakan demi tanjakan, perjalanan kembali ke basecamp pasti akan mudah karena kupikir jalan turun tidak akan membuat napasku ngos-ngosan lagi.
Aku memang tidak pandai menjaga mulut, lihatlah benih yang sedang kutuai sekarang. Perjalanan turun ini malah memberiku halangan tidak diperhitungkan. Kakiku berdenyut nyeri sekali. Apalagi dalam pendakian Gunung Prau kali ini aku tidak mengenakan sepatu gunung mid boot yang akan melindungi area pergelangan kaki dari cedera. Kecerobohanku membawa petaka untuk diriku sendiri.