Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #27

Komitmen

Adara

Minggu lalu mobilku mogok. Air radiator lupa diganti. Akibatnya aku harus luntang lantung di pinggir jalan sambil menunggu orang bengkel datang dan sabar menyetop taksi di jam sibuk pagi hari. 

Hal pertama yang kulakukan ketika akhirnya berhasil duduk tenang di taksi menuju kantor adalah memberitahu Semesta. Mobilku mogok, jemariku menulis cepat lewat WhatApps. Seperti biasanya, jawaban Semesta selalu singkat. 

Bawa ke bengkel. 

Cukup lama aku pandangi layar ponsel, sampai layarnya otomatis mati sendiri dan ikut menenggelamkan pesan singkat Semesta. Pesan itu sudah meresap ke dalam lubuk hati, membacanya beberapa kali lagi hanya akan membuatnya jadi tato abadi. 

Aku sudah biasa membawa mobil ke bengkel sendirian, berhubungan dengan tukang ledeng di rumah, menggapai langit-langit rumah demi mengganti lampu rusak, memberi sedikit oli di gerendel pagar agar besi-besinya tidak berisik begitu pintu mengayun terbuka. Hal-hal kecil, remeh, sepele yang sudah biasa kulakukan tanpa kehadiran lelaki. 

Entah kenapa, saat mengirimkan pesan itu kepada Semesta aku sempat berpikir lain. Memiliki lelaki untuk didekap ternyata tidak turut memberikan perubahan. Aku masih melakukan semuanya sendiri. 

Kalimat Semesta dari pesan singkatnya kala itu sepertinya benar-benar mempengaruhiku sampai beberapa hari kemudian. Buktinya hal yang kupikir sudah kulupakan ini kembali terlintas malam ini. Ketika aku selesai bertamu ke rumah Semesta untuk pertama kali, diperkenalkan kepada kedua orangtuanya, dan menyelesaikan dua jam bersikap seperti calon mantu pilihan.

Aku tidak pernah benar-benar membicarakan apa pun dengan Semesta seperti saran Mika. Aku tidak pernah menolak gagasan tentang pernikahan kami, atau pun menghentikan Semesta membahasnya. Aku tahu sepenuhnya terlambat begitu sadar sudah duduk di ruang tamu rumah Semesta bersama kedua orangtuanya. 

Semesta tidak perlu menjelaskan kepada mereka status kami, atau memberi tahu siapa aku. Semua orang di ruangan ini tahu dengan pasti alasan pertemuan ini. 

“Gimana keluarga aku?” pertanyaan Semesta menggema di telingaku untuk beberapa saat sebelum aku bisa menarik diri dari pikiranku sendiri. 

“Anak ibu cuma Semesta. Dia selalu sibuk sendiri. Nanti kalau sudah ada kamu, ibu jadi punya teman di rumah.” 

Perkataan ibunda Semesta masih membekas bahkan beberapa jam setelah aku meninggalkan rumahnya. Aku tidak pernah berpikir kalau orangtuanya sudah sejauh itu berharap pada pernikahan kami. Aku terkejut Semesta tidak mendiskusikannya dulu denganku. 

Tinggal di tumah orangtuanya? Ini artinya begitu kami menikah, aku harus meninggalkan rumah peninggalan ibu. Bagaimana dengan Banda? Enggak mungkin aku meninggalkannya. Banda harus ikut denganku. Mau tidak mau, Semesta harus menerima hal ini. 

“Adara!” 

“Eh, iya. Apa? Kenapa?” aku tergagap menyadari terlalu lama mendiamkan Semesta. 

Semesta menghentikan langkahnya. Ia berbalik melihatku dengan tangan masih menggenggam erat jemariku. Setelah mengantarku pulang, Semesta dan aku memutuskan untuk berjalan memutari komplek perumahan. Kebiasaan lama setiap kali kami berdua ingin memperpanjang malam berdua saja. 

“Kamu melamun.” Semesta menyimpulkan sambil memperhatikanku saksama. 

Aku menggeleng tanpa melihat wajahnya. “Enggak, kok.” 

“Bohong,” sahut Semesta seketika seperti bisa menembus isi pikiranku. Ia memiringkan kepalanya dan memperhatikanku lebih lekat. 

“Kamu enggak suka sama keluargaku?” 

Lihat selengkapnya