Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #29

Sarkun

Semesta

Gerimis menyambut pagi di hari kelima pencarian Adara. Berarti tepat tujuh hari sejak ia meninggalkan timnya di Danau Taman Hidup. 

Pak Sutoyo datang bersama sejumlah personil tambahan dari koramil dan Polres Situbondo. Sejumlah petugas Basarnas juga datang untuk menggantikan teman-temannya yang sudah beberapa hari bertugas. 

Dari balik jas hujan ponco menutupi tubuh, aku bisa menangkap seraut wajah bulat Riyan. Ia berjalan dengan dahan kayu patah di satu tangan bersama beberapa personil BKSDA Hyang Barat. Lelaki itu berlari ke arahku di dekat dapur umum. Aji sedang berbicara dengan Cak Arip di sampingku. 

“Kenapa ke sini?” 

Rolling sama teman-teman lain. Sekalian antar logistik.” 

“Mika sama siapa di bawah?” Aji ikutan nimbrung bersama kami. 

“Ada sama istrinya Cak Arip. Tenang aja, Mbak Mika baik-baik saja, kok.” 

Aji menghela napas lega, dan aku enggak lepas memperhatikannya. “Kamu bisa ikutan rolling. Biar aku tangani di sini.” 

“Enggak perlu.” 

Sebagai orang nomor satu di Tamu Alam dan ketua ekspedisi Atap Tanah Jawa, dia paling bertanggung jawab. Adara hilang di bawah pengawasannya. Meskipun lelah, Aji memaksa tetap tinggal. 

“Mas Semesta kemarin pergi kok enggak bilang? Aku kira bakalan ikutan tim yang naik pagi harinya,” tanya Riyan penasaran. Kecuali Pak Sutoyo dan Banda, aku memang enggak bilang kepada siapa pun ketika berangkat menyusul Aji. 

“Kelamaan!” sentakku. “Barang-barangku kamu taruh mana?” 

“Aman, Mas. Ada di rumah Cak Arip,” jawab Riyan. Begitu menangkap sosok Cak Arip dia mengangguk dan memberi tanda hormat sok akrab dengan wajah cengengesan. Keceriaannya sungguh salah tempat. Aku enggak suka gayanya. 

“Istirahat dulu, Yan. Ngopi-ngopi dulu juga boleh. Udah dimasakin tadi sama anak-anak, tinggal makan aja. Itu tendaku sama Semesta sebelah sana.” Aji menunjuk tenda kami di samping sungai. 

“Siap Bang Aji.” Riyan membuat tanda hormat di keningnya dan buru-buru berlalu untuk melepas jas hujannya di depan tenda kami. 

Aji meletakkan lengannya santai di pundakku. Tatapannya masih belum lepas dari anak buahnya itu. “Sejak gabung tim logistik Tim Ekspedisi Atap Jawa, Riyan paling penasaran pengen ketemu kamu.” 

Aku buru-buru mengenyahkan tangan beratnya dari pundak. “Apa, sih? Lambemu enggak penting blas.” (Perkataanmu enggak penting sama sekali)

“Kamu kelamaan di Kerinci. Orang-orang di Tamu Alam sudah banyak tanyain kamu.” 

“Sudah kubilang aku mau menarik diri dari perusahaan. Urusan bisnis, kamu urus sendiri lah!” 

Tawa rendah keluar dari sela-sela gigi Aji. Kedua tangannya terangkat menyerah. “Mau sampai kapan kamu di Kersik Tuo? Aku harus telepon lusinan kali di kantor resor Kerinci Seblat buat bicara sama kamu.” 

Emboh. Sik suwi paling.” (Enggak tahu. Mungkin masih lama) 

Taek! (Tahi!) Kamu enggak pernah ngaku kalau aku tanya lagi di mana.” 

“Kalau aku bilang ada di mana, nanti kamu susulin. Aku males.” 

“Mika,” Aji terdengar ragu-ragu. Ia menunduk menatap sepatunya sendiri yang berlumuran lumpur. “Dia selalu tanya kabar kamu. Kurasa dia ingin tahu untuk Adara.” 

Aku berbalik melihatnya. Dahiku berkerut enggak mengerti. “Adara enggak mungkin tanya soal aku.” 

Lihat selengkapnya