Semesta
“Jangan bilang kamu sepakat sama Mbah Jali?” Aku serius mendebat Aji. Ia malah berusaha menghindariku dengan berpura-pura sibuk memeriksa peta topografi yang sudah dibagi jadi puluhan karvak.
“SRU ke OSC. Monitor?” Aji enggak menjawab. Ia malah menyalakan HT dan pura-pura sibuk memeriksa frekuensi dan menunggu jawaban Ical.
Aku meraih paksa HT di tangannya. Buru-buru kumatikan sebelum terdengar sahutan dari Ical. Kubanting begitu saja ke atas tanah, enggak peduli kalau benda itu rusak.
“Aku ikut kamu ke puncak,” desisku.
Aji menghela napas. Ia membungkuk dan mengambil kembali HT di atas tanah. Ia mengurut pelipisnya, wajahnya makin terlihat lelah. Tadi malam ia enggak kembali ke tenda, sepertinya ia diskusi sampai pagi sama Pak Sutoyo.
“Kamu dengar sendiri kata Ical briefing pagi ini. Dua SRU menyisir kembali hutan rawa di Danau Taman Hidup, Dua SRU di Rawa Embik sampai Selonyi. Pencarian akan dipusatkan di tiga puncak. Harus ada yang kembali ke air terjun atas.”
“Ji, kita sama-sama menyisir tempat itu kemarin. Enggak ada apa-apa. Satu-satunya kesempatan adalah di puncak. Lebih banyak tenaga di sana, kesempatan Adara ditemukan juga makin besar.”
Aji menepuk pundakku dan enggak melepaskan tangannya di sana. “Ta, sudah banyak yang menyisir puncak hari ini. Bantuin kita menemani Mbak Jali ke area air terjun.”
Kutepis tangan Aji keras. “Kamu suruh aku jauh-jauh dari puncak karena takut aku emosi, kan? Ini bukan pertama kali aku ikutan nge-SAR, Ji. Aku tahu SOP-nya. Kamu jangan kebanyakan drama!”
“Seharusnya kamu dengerin sendiri perkataan kamu barusan.” Kedua tangan Aji diletakkan di pinggang. Kami sengaja bicara di area terluar dari perkemahan, di dekat hutan cemara. Namun, dengan nada suara setinggi ini, semua orang juga pasti dengar.
“Ji, bukti paling kuat Adara ada di dekat barangnya ditemukan. Bivaknya ada di puncak. Kita sudah buktikan enggak ada jejaknya di sepanjang sungai mati sampai air terjun. Sia-sia tenaga kalau kita balik sana lagi. Enggak masuk akal!”
“Adara sampai tersesat sejauh ini di Cemoro Limo juga enggak masuk akal. Sama enggak masuk akalnya seperti permintaan Mbah Jali.”
“Kalau gitu kenapa mesti aku? Kamu ngerti aku enggak pernah percaya sama begituan. Lebih baik aku ikut kalian ke puncak.”
“Mbah Jali minta ditemani kamu.” Aji juga termasuk orang yang enggak bakal percaya sesuatu diluar nalar. Namun, enggak ada tanda penolakan di kalimatnya barusan.
“Coba pikiren ta, Ji. (Coba kamu pikir, Ji) Aku lebih berguna kalau ikut SRU kamu sekarang.”
Aji meletakkan tangannya di pundakku lagi, segera kutepis dan ia sepertinya menangkap amarahku kali ini. “Ta, ini bukan sekali dua kali kamu berurusan sama hal-hal kayak gini. Di Kersik Tuo kamu juga pasti sudah pernah. Aku tahu ini enggak masuk akal. Tapi semua opsi harus dilakukan. Waktu kita makin terbatas.”
Raut wajah Becayo tiba-tiba berbayang di pelupuk mata. Sial sekali kalau aku sampai berurusan sama sarkun dua kali di waktu berdekatan.
Aji berdecak kesal lalu menambahkan. “Mbah Jali minta kamu. Sepertinya dia tahu kamu paling dekat sama Adara.”
“Aku sama dia sudah tahunan enggak ketemu,” sahutku.
“Dalam hati,” balas Aji enggak kalah cepat. “Atimu sama Adara lebih dekat dari fisik kalian. Mbah Jali benar, bisa jadi kamu paling tahu di mana Adara. Semua orang juga berpikir sama, Ta.”
“Hari ini cerah, kemungkinan besar kita bisa turun sampai Sijeding.” Aji enggak menyerah meyakinkanku. Ia meletakkan alat komunikasi yang tadi kubanting di tangan. “Bawa ini. Aku kabari kamu setiap saat.”
Dengan hati dongkol aku meninggalkannya. Di perkemahan semua orang melihatku penuh arti. Perdebatanku dengan Aji pasti sampai ke telinga mereka. Perkataan Mbah Jali tentu juga sudah mempengaruhi pikiran semua orang. Kenapa hanya aku yang masih menganggap omongan orang tua itu bualan?
Banda mendekatiku. “SRU-ku akan susur karvak 28.”
Karvak 28 adalah sebuah area bernama Aeng Kenik. Dalam Bahasa Mandura berarti mata air kecil. Letaknya di batas antara hutan lumut dan sabana lonceng. Jarak satu karvak dari sana adalah Bukit Sanur, tempatku dan Cak Arip susuri kemarin malam.
“Aku enggak akan melewatkan semua tempat,” lanjut Banda. Perkataannya ikut meredakan emosiku. Selain patroli malamku dengan Cak Arip dan Pamungkas tempat itu juga belum disisir menyeluruh.
“Kemarin malam aku ke sana. Coba kamu sisir ulang, siapa tahu aku melewatkan sesuatu.
“Pasti,” kata Banda sungguh-sungguh.
Aku mengangguk dan menepuk pundaknya. Kadang aku lupa Banda satu-satunya anggota keluarga Adara. Ketenangannya menghadapi musibah ini membuatku kagum, ia terlalu dewasa untuk pemuda seusianya.