Adara
Seumur hidupku aku menyaksikan bagaimana pernikahan menghancurkan hidup seseorang.
Ada masanya ketika aku percaya kedua orangtuaku saling mencintai. Sampai kutahu bahwa cinta ibu tidak pernah cukup mengisi relung hati ayah dan ia memutuskan ada baiknya mengisi kekurangan itu lewat perempuan lain.
Di sisi lain, ibu rela hidup dengan kenyataan itu. Ia menelannya bulat-bulat, bersikap seperti seorang istri bahagia dengan keluarga sempurna. Bagai memelihara harimau di halaman rumah, semua yang ibu pikir simpan baik-baik untuk dirinya sendiri itu berbalik menggerogoti tubuhnya.
Ibu tidak melepaskan ayah untuk wanita lain, tetapi tidak juga membebaskan dirinya dari penderitaan dan sakit hati tanpa akhir atas perbuatan suaminya. Sendiri, ibu menanggung beban seberat gunung dalam diam dariku dan Banda.
Kenapa ibu rela menahan semua penderitaan itu? Padahal kami sama-sama tahu bahwa ayah lebih bahagia dengan istri mudanya daripada bersama kami.
Pertanyaan itu tertinggal di benakku hingga dewasa. Aku pernah berlutut di hadapan ibu, memohon kepadanya agar mau meninggalkan ayah. Ia adalah seorang wanita kuat, karirnya cemerlang sebagai pegawai negeri sipil di sebuah kementerian. Ayah tidak menafkahi kami pun, kami bertiga masih bisa berdiri sendiri. Lantas, apa yang ibu pertahankan?
Pernikahan. Bukan karena cinta mati kepada ayah, melainkan karena ibu punya bayangan hidup sempurna dengan keluarga utuh dalam sebuah lembaga bernama pernikahan. Walaupun itu artinya ia harus menanggung rasa sakit dari pengkhianatan suaminya, ibu tetap mempertahankan keyakinannya hingga napas terakhir. Demi memberi dirinya dan kedua anaknya sebuah keluarga utuh, ia rela menanggung beban seberat gunung sampai akhir hayatnya.
Ibu hanya tidak tahu, bahwa upayanya menahan gunung di pundaknya membuatnya kesulitan melihat ke sekitar. Ada aku dan Banda, melihat semuanya juga dalam diam. Kami juga terluka. Hal yang ibu pikir baik, memberikan keluarga utuh untuk kami, malah menjadi bumerang karena tidak ada hal baik tersisa dari sebuah pengkhianatan. Hanya luka.
Ibu memang kuat. Wanita paling tangguh di dunia. Sekaligus paling bodoh. Aku bersumpah tidak akan menjadi sebodoh dirinya. Aku tidak akan membuat diriku menjadi budak cinta hanya karena terlanjur terjebak dalam komitmen sehidup semati dengan seseorang. Aku begitu yakin dengan keyakinanku itu.
Hingga aku bertemu Semesta.
Semesta tidak pernah melakukan apa pun, atau mencoba meyakinkanku mengubah sumpahku. Dia tidak pernah tahu apa-apa sampai malam itu, ketika aku memberitahu sejarah keluargaku di bangsal rumah sakit. Dia memang tidak perlu melakukannya. Namun, Semesta adalah orang pertama yang membuatku berpikir ulang tentang sumpahku.
Bersamanya, aku mulai berpikir tentang kemungkinan hidup berdua saja hingga tua. Aku bahkan membiarkannya membuat sebuah mimpi bagi kami. Hidup sampai tua di pedesaan, dan setiap pagi duduk di halaman belakang sambil menatap matahari terbit.
Hatiku sakit mengingat mimpi kami. Lebih sakit lagi mengingat bahwa hubungan kami sedang berdiri di lapisan es tipis. Kapan pun lapisan itu bisa pecah jadi ribuan keping.
Sudah sebulan kami tidak saling bicara. Rekor terlama pertengkaran dalam hubungan ini. Rasanya baru kemarin kami berbaikan, aku berada di pelukannya lagi dan menciumnya penuh gairah. Sekarang kami kembali ke titik nol.
Sebagian diriku masih berpegang teguh pada keyakinanku, juga sumpahku. Bagaimana kalau Semesta ternyata tidak berbeda seperti lelaki lain? Bagaimana kalau aku terjebak dalam komitmen beracun yang tidak hanya menghancurkan hubungan ini, tetapi juga seluruh hidupku? Layaknya ibu dulu menghancurkan hidupnya, padahal ia bisa hidup bahagia dengan kedua anaknya.
Semesta bahkan bisa mengatakan hal-hal menyakitkan keadaku. Seperti ketika ia tidak mendukung karyaku. Bagaimana kalau di kemudian hari ia berbuat lebih buruk dari itu dan aku menyesal memilihnya? Hidup tidak bisa diulang, dan aku ragu pada kemungkinan aku akan menyerahkan seluruh hidupku kepada seorang pria untuk dihancurkannya kemudian hari.
Ponselku bergetar. Jantungku seperti melompat dari tempatnya begitu melihat nama Pak Kebo ada di daftar paling atas pesan WhatApps.
Aku ke Jogja. Sekalian naik Merapi sama Aji. Enggak tahu pulang kapan.
Di tengah pertengkaran kami, dia masih menyempatkan menulis pesan untukku. Ia masih memikirkanku, tidak ingin aku berasumsi dia menghilang tanpa kabar. Mendadak aku merasa menjadi manusia paling buruk di muka bumi. Aku sudah berbuat apa di masa lalu hingga layak mendapatkan lelaki seperti Semesta?
Semesta benar. Aku mencintainya, aku takut kehilangannya, tetapi aku lebih takut menjalin komitmen bersamanya.
***