Adara
Waktu terasa berhenti. Orang-orang berjalan dengan gerakan lambat sementara aku berdiri di depan pintu keluar Stasiun Gubeng. Pasti ini juga dirasakan Semesta ketika menantiku keluar dari pintu stasiun yang sama sepulangnya dari Gunung Prau. Ia pasti marah, khawatir sekaligus frustasi di saat bersamaan ketika melihatku berjalan pincang menghampirinya.
Aku tidak bisa memejamkan mata sedetik pun begitu mendengar kabar Gunung Merapi erupsi. Semesta mendaki bersama Aji ke sana. Aku tidak tahu persisnya mereka sudah selesai mendaki atau belum. Karena ia hanya sekali menghubungiku ketika akan berangkat ke Yogyakarta. Kedua ponsel mereka tidak aktif setelahnya.
Ada dua kemungkinan. Mereka sudah di basecamp, tetapi belum menyalakan ponselnya. Atau mereka masih di atas gunung. Aku memohon pada Tuhan untuk melindungi Semesta malam itu. Aku akan melakukan apa pun keinginannya asalkan dia selamat. Ada banyak hal yang ingin kukatakan kepadanya. Termasuk minta maaf soal kebodohanku tempo hari.
Kabar dari mereka datang esok paginya. Aji menghubungi Mika dan mengatakan bahwa mereka sudah dalam perjalanan turun ketika Merapi mengeluarkan awan panas. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan kembali ke Jogja dan akan naik kereta malam menuju Surabaya.
Hatiku terasa sakit. Semarah itu Semesta kepadaku sampai dia sendiri tidak mau menghubungiku. Sudah pasti harga dirinya terluka. Aku meragukannya, memintanya mempertimbangkan ulang soal pernikahan kami. Padahal sekadar membawa kata pernikahan ke tengah hubungan ini butuh keberanian besar bagi seorang lelaki.
Kereta mereka sudah datang sejak lima belas menit lalu, tetapi sosok Semesta belum juga terlihat di mana pun. Mika ada di sampingku, sama khawatirnya denganku. Ia meremas lenganku seraya menjulurkan lehernya mencari-cari di antara wajah penumpang lainnya.
Dua sosok tinggi, berjalan gontai dengan tas carrier besar di punggung masing-masing. Gurat kelelahan tercetak jelas di wajah mereka. Aku buru-buru menyingkirkan tangan Mika dari lengan dan berlari menyongsong Semesta. Tubuhku bertubrukan dengan beberapa orang lain. Mereka berseru dan mengutuk, aku tidak peduli. Hanya ada satu hal yang kuinginkan sekarang, memeluk Semesta, merasakan kehadirannya, demi meyakinkan diriku sendiri bahwa ia selamat tidak kurang satu apa pun.
Aku membenamkan wajahku di dadanya dan menyelipkan tangan di ruang sempit antara punggung dan tas untuk memeluknya. Isakanku teredam, tangan Semesta terangkat untuk membelai punggungku dan mengecup puncak kepalaku. Untuk merasakan kembali kecupannya itu, aku harus melalui neraka.
“Kamu enggak apa-apa, kan?” tanyaku memperhatikan tubuhnya dari atas sampai bawah. Pandanganku kembali kabur karena air mata. Sebuah plester luka kecil membalut dahinya, dan aku menemukan sedikit luka lecet sikunya.
“Ini kenapa?” Tangan sudah terangkat untuk meraih luka di dahi Semesta, tetapi dia lebih dulu menghentikan tanganku di udara.
“Kepeleset waktu turun.” Jemari Semesta meraih pipi dan kembali menghapus air mataku. “Aku enggak apa-apa, Adara.”
“Tapi aku khawatir banget setelah dengar Merapi erupsi. Kupikir ... kupikir ....” Aku tidak mampu menyelesaikan kata-kataku.