Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #35

Sabana Lonceng

Semesta

Semua orang meragukan ranting patah itu. Kecuali aku, instingku berkata lain. Ada sesuatu di sana, dan aku harus turun buat cari tahu. 

Selepas dari pundak kami menuju posko Sabana Lonceng di bawahnya. Rencananya evaluasi akan diadakan malam ini. 

Hujan lebat kembali turun. Angin datang bersamanya dari lereng-lereng bukit yang melingkupi padang sabana luas. Digoyangnya alang-alang, sekalian sama tenda-tenda relawan. Pasak kurang kuat menghujam bumi, tali prusik salah ikat, bikin tenda sudah langsung bablas kena tiup angin. 

Semua ketua SRU berkumpul di bawah bentangan kain flysheet  yang diikatkan di batang-batang pohon. Ical bersila paling ujung. Semua orang fokus kepadanya. Enggak ada yang peduli sama hujan menghantam di sisi kami, keputusan Ical setelah briefing malam ini lebih penting. Karena besok adalah batas akhir pencarian sekaligus hari terakhir Basarnas membuka operasi penyelamatan terbuka. 

“Waktu rekan kita jatuh kena batu kemarin, beberapa tali ikut rusak,” ucap Ical berat. Beberapa orang di belakang makin merangsek maju demi menangkap perkataannya. 

“Masih bisa pakai alat dari kami kan, Mas.” Aji di barisan depan angkat bicara. 

“Bisa. Tapi bukan cuma itu masalahnya. Kita semua tahu sejak hari pertama cuaca selalu buruk. Beberapa kali bahkan sempat angin kencang dan saya tidak punya pilihan selain menarik SRU. Belum lagi tempat itu banyak bebatuan. Kalau kejadian kemarin sampai terulang, akibatnya bisa lebih fatal” 

“Kita harus tunggu tim rolling dari bawah. Teman-teman pasti juga sudah kelelahan. Jangan sampai bersikeras cari survivor, tapi malah sakit sendiri.” Cak Arip ikut memberikan suara. Ical enggak bereaksi, ia hanya merenungi perkataan Cak Arip sejenak. Pertanda ia juga setuju. 

“Kita enggak punya waktu buat tunggu bantuan. Aku bisa turun ke sana besok,” kataku yakin. 

Semua mata tertuju kepadaku yang sudah berani menerobos masuk briefing terbatas mereka. Aku hanya orang asing, bukan siapa-siapa apalagi ketua SRU. Namun, aku enggak peduli. Aku tahu apa arti pertemuan ini. Besok adalah hari terakhir pencarian. Bila Adara belum ditemukan, SAR akan resmi ditutup. Hasil diskusi malam ini akan menentukan langkah esok hari. 

“Ini juga masih didiskusikan, Semesta. Kamu enggak lihat masih hujan badai begini.” Pak Sutoyo menimpali. Seperti biasa topi rimba menutupi sebagian wajahnya. Perut buncitnya menjadi bertumpuk-tumpuk ketika ia duduk. 

“Kita jangan lagi buang waktu, Pak. Saya bisa turun langsung besok.” 

“Kamu tahu enggak, kalau angin di tempat yang mau kita turuni itu kencangnya bukan main? Setiap kali mau turun, selalu badai. Kalau enggak badai ya, kabut. Langkah kita harus hati-hati. Jangan asal turun! Ini kayaknya memang dayangnya Rengganis enggak kasih kita izin turun.” 

“Jangan bawa-bawa hal enggak masuk akal lah, Pak,” potongku cepat. Begitu tahu aku meninggalkan Mbah Jali, Pak Sutoyo sudah mendongkol kepadaku sejak sore. Dia yang membawa sarkun kemari, pantaslah dia marah. 

“Semesta, kamu jangan seenaknya sendiri.” Ical membela pimpinannya. “Ingat kita tamu di sini. Ibaratnya setiap mau ambil langkah harus permisi dahulu. Jangan semua dipukul rata.” 

Seperti aku enggak tahu saja soal ini. Ini menyangkut hidup dan mati seseorang. Sudah seminggu Adara di luar sana. Kami enggak bisa buang-buang waktu lagi. Aku rela menerjang hujan badai demi ke tempat Adara. 

“Kita akan lihat cuaca besok. Kalau besok pagi cerah, kita coba lihat turunannya.” Ical memberikan keputusannya. 

“Kalau belum cerah juga?” tuntutku. 

“Kita balik dulu ke Bermi.” 

Dua kata dari Ical cukup menyalakan bara api dalam diriku. Aku enggak akan mau kembali tanpa Adara.  “Ji, aku harus turun ke sana besok.” Kali ini aku memohon kepada Aji. 

Lihat selengkapnya