Adara
Satu buket bunga mawar merah ada di tanganku. Walau seluruh mata tertuju kepadaku hari ini, aku masih sempat mengedarkan pandang ke seluruh ruangan setiap lima menit sekali tanpa kehilangan fokus menjawab pertanyaan dari pembawa acara.
Semesta tidak ada di sini. Kenyataan ini menusuk hatiku dengan intensitas rasa sakit yang tidak siap kuterima.
“Bunga mawar ini manis sekali. Ternyata Mbak Adara dan Bisma Aditya ini teman kuliah. Jejak Media sangat beruntung punya dua penulis hebat seperti kalian,” komentar pembawa acara di sampingku.
Kami berdua duduk di tengah panggung kecil ruangan kafe toko buku Jejak media yang sudah disewa untuk acara book launching Puncak Bintang. Di depan kami kursi-kursi ditata rapi menghadap panggung.
Bukan buket mawar dari Bisma kuharapkan akan bertengger di lenganku saat ini. Namun, dengan penuh kebohongan aku masih bisa memasang wajah ceria dan berkata, “Bisma adalah orang yang mendorong saya kembali menulis. Bertemu dengannya adalah sebuah anugerah.”
Di salah satu kursi di depan panggung Bisma mengedik sambil tersenyum kepadaku. Banda duduk di sebelahnya. Aku balas tersenyum. Bukan untuk Bisma, melainkan untuk Banda. Biasanya dia paling malas kuajak pergi berdua. Bahkan sekadar belanja ke supermarket sekali pun, tetapi hari ini dia sudah bersemangat sejak pagi. Mendadak dia jadi bangga sekali jadi adikku sejak kuberi tahu soal peluncuran novelku.
Mataku kembali mengitari ruangan kafe, masih tidak ada Semesta. Kuputuskan untuk memaku pandangan ke arah pintu masuk. Mungkin kena macet. Dia hanya terlambat, Adara. Semesta akan segera muncul. Aku mencoba membesarkan hati.
Di sampingku tumpukan novel Puncak Bintang ditata tinggi. Masih sulit rasanya memercayai ada satu buku dengan namaku tercetak di halaman sampulnya. Hari ini akhirnya datang, ketika aku berhasil mewujudkan mimpi yang kukira tadinya mustahil. Menjadi penulis adalah sebuah mimpi terpendam, angan yang hanya kuucapkan dalam diam.
Seseorang di barisan depan bertanya. “Saya dengar cerita ini terinspirasi dari kisah nyata Mbak Adara sendiri. Apa itu benar?”
Pertanyaannya mengundang tepuk tangan meriah dari semua orang. Mataku menangkap sosok Mika dan Aji duduk satu meja dengan Banda. Aku yakin dari sinopsisnya mereka berdua pasti tahu novel ini bercerita tentang apa dan siapa.
“Batas fiksi itu tipis sekali. Saya tentu ingin menulis cerita di mana pembaca bisa merasakan ceritanya seolah benar-benar nyata.”
“Wah, diplomatis sekali ya jawaban Mbak Adara,” komentar pembawa acara di sampingku. “Apakah Mbak takut menyinggung perasaan seseorang di sini kalau mengakui cerita Puncak Bintang diangkat dari peristiwa nyata?”
Orang itu tidak ada di sini. Aku menjawabnya untuk diri sendiri. Batas antara kebahagiaan dan rasa sakit mulai kabur dalam hatiku. Atau mungkin sudah bercampur sehingga rasanya aku ingin mual memuntahkan dua rasa saling bertolak belakang itu.
Hebatnya aku masih bisa tergelak dan kembali berbicara. “Bukan begitu. Puncak Bintang adalah karya fiksi. Kalau pembaca merasa cerita ini seperti diangkat dari kisah nyata, berarti upaya saya berhasil membuat kalian semua terhanyut, seolah ikut masuk ke dalam cerita.”
“Pertanyaan terakhir sebelum kita masuk sesi tanda tangan. Buku ini bercerita tentang petualangan. Kalau tidak salah Mbak Adara sendiri juga pendaki. Apa sih yang membuat kamu suka banget sama mendaki? Bisa share dong sama kita.”
Untuk kali kesekian mataku kembali mengitari ruangan. Tidak ada orang yang kucari. Tatapanku bertemu dengan Mika, dan seolah tahu apa yang kucari dia menggeleng pelan. Semesta tidak datang. Di hari aku mendeklarasikan ungkapan cintaku, ia malah menghilang.
Hari ini aku ingin jadi orang paling bahagia, tetapi aku tidak bisa melakukannya. Semesta harusnya di sini untuk melengkapi kebahagianku, melengkapi kepingan ungkapan cinta ini.
Puncak Bintang adalah tentang kami berdua Kutempuh malam demi malam meniti kata hanya untuk saat ini. Agar Semesta bisa memahami betapa aku mencintainya. Nyatanya ia tidak ada di sini. Baru kusadari mungkin selama ini caraku mencintai Semesta terlalu gaduh. Jarang ada kegaduhan berakhir baik, bukan?