Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #37

Sijeding

Semesta

Pikiranku melayang entah ke mana sambil menatap kabut merayap naik dari dasar lembah. Hutan terlalu sunyi, angin menderu hebat, kabut terlalu tebal dan jarak pandang di bawah terbatas. Namun, semua itu enggak menghentikan kami menyiapkan segala peralatan. 

Aji berkali-kali mengalihkan mukanya ke arahku sambil memeriksa tali karmentel untuk menuruni tebing. “Ta! Malah ngelamun!” 

Aku mengerjap. Hardness sudah terpasang di punggung, berikut webbing di pinggang. Tinggal tunggu waktu pas buat turun ke bawah. 

Kabut terlalu tebal. Izin belum turun dari Ical. Sementara mendung menggantung tebal sejak pagi. Setiap kali mau angkat alat, kabut selau naik. Perkataan Pamungkas kemarin tiba-tiba hadir. Kali ini, belum juga selesai siap-siap, angin kencang menyerbu Kawah Sijeding. 

Dari bibir lembah, aku bahkan enggak bisa melihat sampai dasar. Sijeding sepenuhnya tersembunyi di balik tabir putih. Bakal sulit menentukan pijakan seandainya turun sekarang. Kalau enggak terutup awan, matahari mungkin sudah tepat di atas kepala. Waktu adalah hal yang enggak kami miliki. 

“Aku bisa turun sekarang.” Perkataanku barusan bukan permintaan kepada Aji. 

Aji menyerahkan tali karmentel pada Fandi. “Belum ada izin. Tunggu sebentar lagi sampai kabut hilang sedikit.” 

Aku berdecak kesal. Kutendang batu kecil di ujung sepatu sampai terjun bebas ke bawah. Kabut dengan senang hati menelannya. 

HT di saku Riyan berbunyi. “OSC ke Aji. Monitor?” 

“Masuk, Mas.” Aji menjawab lewat HT di tangannya sendiri. 

Rengganis mulai gerimis.”

Aji mendongak menatap langit. Matanya terpejam kesal. Ini akan jadi hari yang sulit. Enggak lama setelah komunikasi terakhir dengan posko, rintik-rintik hujan mulai turun membasahi daerah di antara Puncak Rengganis dan Hyang tempat kami menunggu. Tali karmentel yang sudah dibentangkan kembali digulung. 

Orang-orang mulai kembali mengeluarkan jas hujan kecuali aku. Kalau pakai jas hujan sekarang bakalan repot. Hardness sama webbing sudah terpasang. Malah repot kalau nanti tiba-tiba izin buat turun kami dapat. Aku merelakan tubuhku dipeluk hujan, daripada menyia-nyiakan kesempatan. 

Kesempatan ternyata adalah hal paling langka untuk didapatkan hari itu. Hujan enggak melunak. Sekali lagi badai datang. Petir menyambar di atas lapisan awan, dan mendung meredam suaranya. Dewa hujan enggak pelit-pelit menumpahkan airnya. Kabut memang telah hilang, digantikan hujan lebat disertai angin, tetapi jarak pandang tetap terbatas. 

“OSC ke semua SRU, batalkan operasi. Cuaca tidak memungkinkan.” 

Lihat selengkapnya