Adara
Puncak Bintang ditulis bukan sekadar untuk mengabadikan kenanganku bersama Semesta. Lebih dari itu, buku itu adalah ungkapan cintaku.
Lewat kata-kata, aku ingin selalu mengingat bagaimana aku mencintai Semesta. Bahwa di samping segala ketidakcocokan kami, segala perselisihan pendapat, aku mencintainya lebih dari apa pun. Aku ingin Semesta tahu, aku bisa menyeberangi segala perbedaan itu, agar aku bisa berdiri di sisinya. Meski itu artinya, aku harus berkorban dan berkompromi terhadap perbedaan-perbedaan kami, tidak masalah bagiku. Aku bisa melakukannya, asalkan di awal dan akhir sebuah hari, aku bersandar di bahu Semesta sambil memandang matahari datang dan pergi.
Semesta gagal melihatnya. Aku sudah mencoba, untuk menyeberang ke sisinya, sedikit demi sedikit mengubah pendapatku, pendirianku, bahkan sumpah pada diriku sendiri. Namun, pada akhirnya jurang perbedaan kami lebih besar.
Ada lubang hitam menganga di antara kami. Andaikan salah satu mencoba kembali menyebrang ke sisi lainnya, lubang hitam itu seperti siap menerkam dan menarik salah satu dari kami ke dalam sisi terkelamnya. Kami sudah mencoba, menjadikan apa pun sebagai jembatan. Hanya saja pondasinya terlalu rapuh, dan jembatan itu berakhir hancur.
Cinta, sekuat apa pun itu, harus bisa menggelarkan jembatan bagi kedua hati. Tak peduli sekuat apa pun badainya, titian itu akan bertahan. Asalkan keduanya juga saling menjaga keseimbangan di tengah-tengah.
Apa yang sudah terjadi sama kita, Kebo?
Semesta pernah mengatakan kepadaku bahwa seseorang akan melihat jati diri dan sifat aslinya ketika berada di alam. Semesta memang menjadi dirinya sendiri sewaktu bercumbu dengan bumi. Dia tangguh, sabar, berhati-hati dan tidak peduli betapa keras alam menempanya, di mataku dia tetap pria yang hangat. Namun, peradaban mengubur semua itu dari dirinya. Semesta ketika di alam bebas dan di tengah peradaban adalah dua orang yang bebeda. Versi terbaik Semesta hanya muncul ketika dia bergaul dengan alam. Kurasa aku jatuh cinta kepada Semesta yang itu.
Lebih baik aku mundur.
Detik itu aku merasa seluruh duniaku runtuh. Mimpi yang telah kami bangun lenyap dalam semalam. Mundur adalah pilihan Semesta, ketika pilihan itu bahkan tidak pernah terbesit dalam pikiranku.
Kita memang tidak pernah cocok sebagai pasangan.