Semesta
Ratusan relawan di Argopuro terpaksa harus mengalahkan ego dan takluk dengan kekuatan alam. Aku sudah berusaha menunggu selama mungkin, tetapi badai enggak kunjung reda. Jarak pandang makin tipis. Selain itu, perintah penarikan SRU sudah digaungkan semenjak tengah hari.
Enggak ada satu kata pun keluar dari bibir Banda. Sebagai keluarga Adara dia berhak menolak, bersikeras tinggal di atas buat melanjutkan pencarian. Namun, dia bergeming. Di luar dugaan, enggak ada perlawanan darinya. Dia menurut saja ketika teman-temannya menggiringnya turun. Diam dan sesekali mengangguk ketika Mas Ical dan Pak Sutoyo menepuk pundaknya, meminta maaf kepadanya, dan berjanji akan membantu sebisa mereka kalau pencarian mau dilanjutkan kembali.
Aku malu sama Banda. Egoku jadi terluka karena enggak ada yang bisa kulakukan lagi. Mengaku kalah setelah kepalang janji sama Banda itu enggak mudah. Entah Banda memang telah menyerah dan pasrah, atau wajah keras dan dinginnya itu sebatas topeng untuk menyembunyikan kesedihannya.
“OSC ke semua ketua SRU.” Suara Mas Ical menyela keheningan lewat HT di tanganku. “Setelah sholat isya berkumpul di polsek untuk rapat hasil Open SAR.”
Aku buru-buru menoleh pada Banda. Seperti sebelumnya, wajah itu masih tetap keras. Langkahnya juga masih tetap hati-hati menuruni bukit mendekati ladang-ladang warga Desa Bermi. Kami berdua tahu apa arti pertemuan selepas isya. Hanya tinggal waktu sampai Pak Sutoyo selaku SMC mengumumkan operasi SAR ditutup.
Di gapura pintu masuk pendakian Desa Bermi, puluhan orang sudah menunggu. Wartawan dari berbagai media berbaur dengan masyarakat sekitar. Mereka sudah terlebih dahulu memberondong Pak Sutoyo yang berjalan paling depan. Enggak puas dengan lelaki itu, salah seorang wartawan mengenali Banda sebagai adik Adara, dan mereka ganti menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.
“Mas ini adiknya Mbak Adara, kan?”
“Bagaimana kondisi pencarian di atas, Mas?”
“Kenapa semua orang turun? Apakah Adara sudah ditemukan?”
“Bagaimana pendapat Mas soal operasi SAR ini?”
“Kenapa kita enggak melihat Adara ikut turun?”
“Apakah Adara sudah meninggal?”
“Tolong berikan klarifikasi sebagai anggota keluarga!”
Pada saat itu aku melihat Banda ada di batas ketabahannya. Tangannya terkepal erat di sisi tubuh, rahangnya mengeras, begitu pula otot di sekitar pelipisnya. Namun, tetap enggak ada kata keluar dari mulutnya.
Aku mengedik pada Aji. Lalu, mendorong punggung Banda melewati gelombang manusia yang menyerangnya. Badannya terasa keras, seolah ia mati-matian mengungkung segala emosi, memerangkap seluruh perasaannya.
“Saya ketua Ekspedisi Atap Tanah Jawa. Kami akan memberikan klarifikasi begitu rapat evaluasi selesai.” Aku mendengar Aji mengambil alih di belakang.
Aku membawanya ke jalan memutar paling jauh lewat perkebunan kopi warga untuk menghindari semua orang. Hanya ketika tinggal kami berdua, Banda menyentakkan tanganku di punggungnya. Ia berbalik menatapku. Napasnya naik turun, lalu tatapannya terpaku pada rumput gajah di bawah kakinya.