Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #40

Cara Menyembuhkan Luka

Adara

Sudah enam bulan dan aku masih seperti mayat hidup. Melepaskan Semesta sulit, pulih dari ketiadaannya lebih pelik. 

“Adara! Kamu bisa dengar aku?” Bisma melambaikan tangannya di depan mukaku. 

“Eh, iya. Apa?” sahutku linglung. 

Bisma mendesah dan menutup agendanya pasrah. Pikiranku sempat melayang sendiri tadi, membuatnya bicara sendiri dengan udara kosong selama beberapa waktu. 

“Maaf,” gumamku. Kurang lebih begini gambaran kehidupanku akhir-akhir ini. Aku menyelesaikan semua pekerjaanku di kantor seperti robot, agenda-agenda promosi buku dari Jejak Media kulalui semua tanpa kesan. Disamping jam kerja kantor dari Senin sampai Jumat, agenda promosi di akhir pekan jadi pengalihan sempurna untukku. 

“Kamu tadi bilang apa?” tanyaku lagi, berusaha berkonsentrasi sepenuhnya pada agenda pertemuanku dengan Bisma hari ini.

“Enggak penting lagi tadi aku bilang apa.” Bisma terlihat kesal. Kedua jemarinya ditangkupkan di pangkuannya. 

“Beneran sori, Mas. Aku dengerin kamu deh kali ini.” 

“Yakin kali ini mau dengar?” ulang Bisma mulai tertarik. Ia menggantikan Ratna yang sedang cuti hamil untuk membahas berbagai agenda promosi Puncak Bintang. 

Aku langsung mengangguk tanpa pikir panjang. Bisma mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dari seberang, aku bisa melihat matanya berkilat menggoda dari bawah cahaya lampu ruang meeting. 

“Makan malam yuk sama aku. Berdua saja.” Perkataannya yang tidak terduga membuat tubuhku refleks membeku. Bukan karena suara rendahnya terdengar menggoda, atau wajahnya menatapku penuh harap, tetapi seluruh sel dalam tubuhku seperti langsung memberikan penolakan. 

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. 

Bisma menarik tubuhnya dan bersandar di kursi. 

“Sekarang? aku harus cepat-cepat pulang sih. Harus jaga Banda di rumah.” Aku membuat wajahku seserius mungkin. Seraya menggaruk kening yang tidak gatal dengan canggung. Sebetulnya tanpa perlu dijaga pun, Banda akan baik-baik saja di rumah sendiri. 

Sejurus kemudian, tawa menyembur keluar dari mulut Bisma. “Kelihatan banget kamu enggak bisa bohong. Aku cuma bercanda Adara.” 

Aku mengambil pulpen di sampingku dan melemparnya tepat ke muka Bisma. Hampir saja tadi aku berpikir ajakannya sungguhan. Benar, Bisma tidak mungkin mengajakku makan malam, hanya berdua saja pula. Cuma ada satu alasan kalau ia sampai melakukannya. Sekarang, aku tidak ingin memikirkan kemungkinan itu terjadi untuk semua lelaki. Terutama setelah Semesta. Oh, sial! Aku harus benar-benar menyumpal suara dalam kepalaku supaya tidak menyuarakan nama itu lagi. 

“Kelihatan banget kamu belum bisa lupa sama Semesta.” Bisma mengangkat bahunya asal. “Kalau mau ngajakin kamu dinner berdua, mending aku tunggu sampai kamu siap.” 

Tubuhku kembali membeku. Kuharap kali ini Bisma juga hanya main-main. Lebih baik menarik garis batas sekarang sebelum semuanya terlambat. 

“Mas, aku enggak bisa ....” 

Bisma menghentikanku, tangannya terangkat ke udara. “Aku tahu kamu mau bilang apa. Maaf, aku tidak semestinya terlalu berani sama kamu.” 

Mataku sibuk memandangi kertas-kertas di hadapanku. Suasana jadi berubah canggung, dan aku terlalu bingung memikirkan alasan kenapa Bisma tiba-tiba berkata seperti itu padaku. 

“Buku Puncak Bintang ....” Kalimat Bisma menggantung, dia menunggu sampai aku mendongak melihatnya. “Itu cerita kamu dan Semesta, kan?” tebaknya. 

Aku mengangguk lemah, dan tawa kecil terlepas dari mulut Bisma.

“Pantas saja kamu jadi sehancur ini putus sama dia.” 

Lihat selengkapnya