Semesta
Semua orang duduk beralaskan tikar di ruang tamu, bergantian mengambil nasi dan lauk seadanya yang sudah disiapkan istri Cak Arip. Beberapa petugas dan relawan lainnya duduk di teras, berusaha selama mungkin memanjangkan rokok yang sudah terlanjur dibakar udara malam. Hanya sesekali kata terucap dari wajah-wajah kelelahan itu. Tenaga terkuras membuat mereka memilih makan dalam hening.
Tempat ini sudah mirip rumah duka. Wajah-wajah itu lebih dekat dengan muka pelayat selepas mengantarkan satu tubuh ke liang lahad.
Seulur tangan membawakan sepiring nasi hangat lengkap dengan lauk pauk ke hadapanku. Mika mengedikkan kepalanya, menyuruhku mengambil piring di tangannya ketika aku hanya diam. Memang kuambil, tetapi kuletakkan kembali di pinggir bangku.
“Makan, Ta!” perintah Mika, lalu duduk di sampingku. Perut buncit membuatnya kesusahan duduk, napasnya sedikit terengah.
“Nanti,” kataku singkat.
Mika meletakkan baskom berisi air dingin di antara kami. Tanpa bicara kubiarkan dia mengompres memar di buku-buku tanganku. Ia juga enggak tanya bagaimana aku mendapatkan luka robek di ujung bibir, tetapi dirawatnya luka itu telaten. Aku jadi merasa bersalah sudah menghajar Aji. Dia juga terluka. Entah sudah dirawat apa belum, lelaki itu langsung pergi ke Polsek Krucil untuk mengukuti rapat evaluasi Open SAR.
“Sudah berapa bulan?” tanyaku melihat perut besarnya.
“Tujuh,” jawab Mika pelan. Sejenak, tatapannya hilang menatap langit-langit. Pipinya masih sembab dari jejak air mata. “Adara janji akan datang ke syukuran tujuh bulanan setelah dia turun dari sini.”
“Maaf.”
“Buat apa?”
“Aku enggak bisa bawa Adara balik.”
Mika menghela napas berat. “Kalian tahu apa kesamaan kalian?”
“Apa?”
Sambil memiringkan wajahnya, Mika menatapku takjub. “Bukannya saling mengobati luka, kalian lebih memilih keterasingan buat lari dari patah hati.”
Pandanganku jatuh ke gelang kami di tangan. “Adara pergi jauh karena itu mimpinya.”
“Adara pergi karena dia enggak bisa bangun mimpi itu sama kamu di sini,” potong Mika cepat. “begitu juga kamu, Ta. Kamu lari sejauh-jauhnya, memutus semua orang, termasuk kami, karena kamu tahu akan ada Adara di antaranya.”
“Aku pengecut, ya?” tawaku getir.