Adara
Desa Chamje, Annapurna Circuit
Tugas waktu adalah menyembuhkan. Sedangkan kenangan melukis bekas lukanya kekal. Goresan abadi itu tetap meninggalkan denyut remai dari waktu ke waktu setiap kali menemui penyulutnya. Sebagai pengingat kalau dulu sebenarnya kita tidak tegar-tegar amat sampai mendapatkan bekas luka, begitu kata orang.
Angin dingin berkesiur membekukan wajahku dari atas ketinggian jembatan suspensi yang menggantung di atas sungai menuju perkampungan selanjutnya di jalur pendakian Annapurna. Aku mencengkeram pinggiran kawat besi dan berdiri sedekat mungkin dengan tepian kawat besi.
Sungai Marshyangdi mengalir deras di bawah sana, arusnya menggerus bebatuan besar di pinggir sungai dan menciptakan buih putih ketika bertubrukan. Angin menampar darchong yang diikat di tepian kawat-kawat penyangga jembatan, bendera doa warna-warni khas orang Nepal.
Aku menghirup napas dalam-dalam. Ketinggian selalu membuat pikiranku lebih jernih. Ternyata aku bisa memikirkan banyak hal ketika kakiku tidak menjejak tanah dan angin bercengkerama diantara helaian rambut.
Aku ternyata aku masih hidup melewati hari-hari menyakitkan itu. Dalam rentang waktu itu, aku memang tidak pernah kembali menulis. Belum. Kurasa apa yang terjadi memberiku trauma. Sebuah ungkapan cinta yang ternyata juga membawa semuanya pada kehancuran. Bagaimana aku bisa kembali merangkai kata setelahnya?
Anehnya, aku tidak pernah menyalahkannya. Ah, lucu sekali aku tidak bisa menyebut namanya gamblang. Ada denyut samar setiap kali mana itu sudah di ujung lidah. Mungkin sementara ini tempatnya memang ada di sana. Tidak berhak diucapkan, hanya jadi bayang-bayang.
Seorang sherpa melewatiku. Aku bergeser semakin ke tepi jembatan demi memberinya ruang. Keranjang besar berisi berbagai barang kebutuhan pendaki tergantung di punggung, sebuah kain putih sederhana dililitkan di keranjang sampai melingkari kepalanya. Hanya dengan kepala sekeras baja itu, para sherpa memikul beban dunia. Nepali memang orang paling kuat sedunia.
Ponselku berdering. Ini pertama kalinya benda itu berbunyi setelah aku berjalan dari Pokhara berhari-hari lalu. Hanya segelintir tahu nomorku di Nepal. Nama Mika terpampang di layar, heran juga kenapa dia tiba-tiba melakukan panggilan internasional dan mengganggu waktu jalan-jalanku.
“Kamu di mana sekarang?” Suaranya lebih terdengar antusias daripada panik, jadi kurasa tidak ada yang darurat. Rumah dan Banda pasti aman dalam pengawasannya selama kutinggalkan.
“Aku sebutin nama desanya kamu juga enggak mengerti,” jawabku asal. “Ada apa?”
“YouTube kamu, episode Rinjani tembus satu juta view. Posisi satu sekarang di trending.”
“Oh, ya?” tanyaku tenang.
“Kenapa datar banget reaksinya? Ini satu juta, Ra! Kamu enggak suka?” Aku yakin Mika sekarang pasti sedang mengerucutkan bibir tidak senang.
“Sudah aku prediksi akan seramai ini, sih. Jadi aku enggak kaget lagi.”
“Dasar sombong.” ejek Mika. Aku terkekeh puas. Mengambil kartu nama Fandi Pradana memang bukan keputusan buruk. Aku dan dia sudah bekerja sama membuat banyak konten petualangan selama beberapa bulan terakhir. Aku tidak pernah berpikir akan punya kanal YouTube sendiri, sampai Fandi meyakinkanku. Itu bukan keputusan buruk juga, karena sejak saat itu pengikutku terus berkembang sampai sekarang. Mayoritas adalah orang-orang yang suka petualangan.
“Kalau begini terus, bulan depan bakalan dapat silver play button,” kata Mika makin antusias.
“Lama-lama kamu mirip Banda.” Sampai sekarang anak itu masih aktif memegang semua media sosialku. Hanya sesekali aku ikut campur, tetapi urusan feeds, balasan komentar, dan hubungan dengan pihak luar dipegang oleh Banda. Bahkan, akhir-akhir ini dia juga sering ikut memberi masukan untuk YouTube bersama Fandi.
“Cuma memastikan kamu masih kuat kasih Banda makan setelah resign.” Mika dan sarkasmenya yang tidak pernah habis itu. Sampai sekarang dia masih berpikir keputusanku keluar dari pekerjaanku untuk fokus melakukan hal-hal yang kusukai adalah keputusan buruk.
“Gimana Banda?”