Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #45

Kembali Kecil

Adara

Sudah satu jam aku dan Banda duduk berhadapan sambil makan di restoran Jepang Tunjungan Plaza. Satu-satunya masalah kami hanyalah aku terlalu banyak bicara sedangkan Banda asyik sendiri dengan gadget di tangannya. Sesekali hanya melemparkan, hmm, okay, bagus, enggak, iya.

Seolah fungsi bicara di mulutnya itu sudah sepenuhnya digantikan ujung jempolnya. Entah kenapa dia lebih banyak bicara di dunia maya daripada dengan kakaknya sendiri. Ini harus dihentikan. 

“Nda, taruh handphonenya. Aku mau bicara.” 

“Bicara saja. Dari tadi juga kamu nyerocos terus.” Banda menyuapkan sepotong sushi ke mulutnya tanpa melepaskan matanya dari layar di samping piringnya. 

“Aku mau ambil alih Instagramku lagi.” 

Baru sekarang Banda mau melihatku. 

“Aku mau hapus Facebook, tapi terus main Twitter. YouTube juga akan aku pegang sendiri sama Fandi.” 

Mulut Banda menganga. Sepertinya perkataanku barusan membuatnya kesulitan menelan, maka aku mengambil sepotong sushi lagi dan menyuapkan ke dalam mulutnya. 

“Mana bisa …. kamu enggak tahu ….” gumam Banda dengan mulut penuh makanan. 

“Telan. Makan!” perintahku tenang. 

Banda meletakkan sumpitnya sewot. “Kamu tahu kan Mbak, itu satu-satunya penghasilan kamu? Kamu sudah berhenti nulis, terus ganti jadi pegiat alam. Aku enggak protes. Tapi kamu butuh uang buat melakukan itu semua. Brand lain udah antri, tapi kamu malah terima Jagat.” 

“Jadi kamu mengurus Instagram Mbak karena itu?” 

“Gini-gini juga aku masih sayang kamu. Lagian siapa yang kasih makan aku kalau kamu berhenti kerja?” 

Ganti aku meletakkan sumpit di atas meja keras. Untuk sesaat aku menatap Banda berang. Marah karena anak tujuh belas tahun yang harusnya sedang menikmati masa akhir SMAnya malah mengkhawatirkan penghasilan kakaknya. 

“Pertama, aku enggak berhenti nulis. Kedua, kalau kamu khawatir soal uang, itu enggak perlu. Mbak enggak kere-kere amat sampai enggak bisa kasih kamu makan. Lagi pula, memangnya Mbak bolehin kamu urusin sosmed supaya dapat uang? Kamu salah, uang dari royalti buku puluhan kali lipat lebih gede.” 

Banda hanya menatapku ragu, dan itu makin menghancurkan hatiku. Selama ini sebesar itu kekhawatirannya padaku. 

“Kamu pikir, sebelum Mbak keluar dari kerjaan enggak mikir dulu? Mbak punya tabungan Banda.” Aku berusaha memaksakan senyum getir di bibirku. Jemariku menyeberangi meja untuk meraih tangan Banda. Untuk seorang pemuda cuek dan selalu bersikap dingin di depan umum, kali ini Banda sama sekali tidak menghindar. 

“Aku tahu kamu sudah berusaha keras mengurus semua sosial media itu. Tanpa kamu Mbak cuma akan jadi penulis Puncak Bintang. Lihat sekarang, selain penulis, aku bisa sebut diriku pegiat alam. Ada ribuan orang mengikuti setiap perjalanan Mbak. Itu semua berkat kamu.”

“Lalu kenapa sekarang kamu ingin aku berhenti?”

“Karena Mbak ingin sekarang kamu fokus ke masa depan. Unas sudah selesai. Teman-teman kamu mungkin sudah punya tempat di universitas. Kenapa kamu enggak coba fokus itu saja?” 

“Aku akan masuk kepolisian seperti yang ayah bilang,” jawab Banda cepat. Kali ini ia menarik tangannya dan bersandar di kursi sambil melemparkan pandangannya keluar jendela. 

“Ini bukan soal apa yang ayah mau. Tapi apa yang kamu mau.” 

Lihat selengkapnya