Semesta Adara

Bunga Ananda
Chapter #46

Surat Terakhir

Semesta

“Ra, sudah siap semua.” 

Sosok Adara berbalik di ujung jembatan kayu lapuk yang menjorok sampai ke tengah Danau Taman Hidup. Atap gubuk miring di ujungnya berhasil melindungi sedikit wajahnya dari sinar matahari, tetapi angin mengibarkan rambut panjangnya dengan liar. 

“Kita balik sekarang, ya. Sudah enggak sabar nih ketemu peradaban.” 

Adara tergelak. “Kangen peradaban apa kangen Mika?” 

“Dua-duanya. Tapi lebih kangen Mika sih.” Aji tahu Adara sudah siap sejak tadi. Selesai sarapan ia langsung mengemasi seluruh barang-barangnya. Barangkali seperti dirinya, Adara sudah enggak sabar mengecup kehidupan setelah lima hari di tengah rimba. Ia bahkan meminta kembali beberapa peralatannya dari teman-temannya, membuat tasnya jauh lebih berat dari sebelum berangkat. 

Baru kali Adara memakai celana panjang. Dua bulan mendaki bersamanya naik turun gunung di Jawa, Aji sudah kenal tabiat gadis itu. Ia lebih suka celana pendek untuk mendaki, layaknya turis jalan-jalan. Paling banter, kalau memang medannya sulit dan banyak semak, ia akan pakai kaos kaki panjang di bawah lutut. 

Khusus di Argopuro, Adara pilih memakai legging untuk menghindari tanaman jelatang liar. Warga sekitar menyebutnya jancukan. Bisa bahaya jalan di hutan penuh tanaman ini tanpa perlindungan. Kulit bisa panas dan gatal-gatal. Adara hanya mengalah waktu malam, udara dingin memaksanya mengeluarkan celana training dan memakainya supaya hangat.  

Semua rekannya sudah siap menenteng carrier masing-masing. Setelah ritual foto bersama dengan latar Danau Taman Hidup, mereka mengucapkan perpisahan kepada Rengganis dan seluruh penunggu danau. 

Perjalanan kembali baru berjalan sepuluh menit ketika pekikan Adara memecah keheningan dan menunda kerinduan semua orang akan peradaban di bawah. 

“Kenapa, Ra?” tanya Fandi tepat di belakangnya. 

“Ji, kalian pergi duluan, ya. Ada barangku ketinggalan di danau.” 

“Barang apa?” tanya Aji kaget. 

“Ada. Penting banget. Aku harus balik buat ambil.” Suara Adara terdengar lirih, dan ia seperti enggak yakin. 

Aji melihat Fandi melewati bahu Adara. “Temenin, Fan.” 

“Enggak perlu,” tolak Adara seketika. “aku bisa jalan sendiri. Dekat, kok.” 

“Karena dekat, enggak akan masalah buat Fandi temenin kamu.” Aji kembali mengedik kepada Fandi, memberinya isyarat untuk bergerak. 

Adara meraih tangan Aji. Waktu itu, ia menangkap mata bundar gadis itu penuh permohonan. “Aku akan pergi sendiri.” Kalimatnya waktu itu keras, tegas, dan ia menyiratkan enggak mau dibantah. Ketika ia berpaling kepada Fandi, bibirnya kembali menyunggingkan senyum. Perubahan sangat kontras dalam satu detik. 

Aji menggaruk kepalanya gusar. “Ngapain sih, Ra? Barang apaan sih, ini? Kamu macam-macam mau berangkat sendiri segala. Enggak takut kalau nanti ketemu macan? Lihat nih, tempat ini sepi. Cuma tinggal kita di sini.” 

Pendakian Argopuro memang lebih sepi di musim hujan. Terakhir kali mereka berpapasan dengan tim pendaki lain adalah tiga hari lalu di Cikasur. 

“Lima menit saja, aku enggak akan lama.” 

“Enggak, ah. Kalau sampai kamu kenapa-kenapa bisa-bisa aku diceraikan Mika terus dibunuh Banda.” 

Gelak tawa Adara terdengar renyah. Cuaca cerah setelah hujan semalam, memberi hutan denyut kehidupan yang selaras dengan binar riang di matanya. “Mika terlalu cinta sama kamu. Dia enggak akan melakukan itu, percaya sama aku. Dan kamu bakal jadi kakak yang sempurna buat Banda.” 

Tepukan pelan tangan Adara di bahu Aji memberinya degup jantung yang terasa aneh. Kalimat Adara barusan walau diucapkan dengan tawa riang, entah kenapa membuat tengkuknya meremang. 

“Kalau kamu enggak mau ditemani Fandi, ya sudah, aku temani.” Aji masih enggak putus asa. 

Kepala Adara menggeleng keras, jelas menolak mentah-mentah ide itu. “Kalian enggak boleh ikut. Harus aku yang ambil barang itu sendiri.” 

“Kita juga enggak bisa membiarkan kamu pergi sendiri, Ra.”

“Lima menit, Ji. Aku cuma butuh itu.” Wajah Adara memelas, binar di matanya digantikan dengan tatapan penuh permohonan. Tiba-tiba Aji merasa enggak mengenal sorot matanya. 

Aji dan Fandi saling bertatapan, sama-sama menimbang keadaan. Matahari bersinar cerah dengan hanya sedikit awan menggantung di angkasa. Hutan telah menutup Danau Taman Hidup. Lewat celah-celah pepohonan mereka bisa melihat air di danau menangkap terik menjadi gemerlapan di permukaannya. 

Lihat selengkapnya