Adara, Agustus 2015
Braga, Manang, Throng La Pass
Angin membekukan membawa serpihan salju dari puncak Ganggapurna ke desa-desa di bawahnya. Jarak satu desa dan desa lain terpisah belasan kilometer, tidak membuat denyut hidupnya berhenti walau musim dingin di awal bulan November datang lebih cepat. Penduduk desa masih tetap bangun pagi dan berangkat menggembalakan yak dan kambing ke lereng perbukitan untuk meraup sisa-sisa rumput musim panas seolah badai salju tadi malam tidak lebih seperti angin ribut.
Masih ada puluhan pendaki melewati Manang setiap hari walau cuaca sedang tidak bersahabat. Hanya pada bulan-bulan ini Annapurna Circuit tidak diserbu wisatawan seluruh dunia, dan menjadikan perkampungan-perkampungan sepanjang jalur pendakian bak pasar. Lebih banyak memilih singgah di Manang, hanya segelintir memilih penginapan di Braga untuk proses aklimatisasi sebelum melanjutkan perjalanan menuju Throng La Pass.
Jalan-jalan desa memang sudah sepi. Musim dingin kala wisatawan sepi membuat sebagian besar penginapan tutup. Satu-satunya keriuhan berasal dari suara bendera doa berkibar ditiup angin kering. Berbagai doa tertulis di permukaan kain tipis aneka warna ditiup angin. Nepali percaya setiap kebaikan dalam doa di bendera-bendera itu akan ikut menyebar bersama udara ke seluruh penjuru mata angin.
Bentuk kesunyian lain yang lebih intim terasa di dalam biara. Tempat berdoa paling tinggi sekaligus paling tua di Manang ini terasa syahdu dengan ketenangan dan kedamaian yang tercipta dari bumbungan doa-doa peziarah sebelumnya.
Tidak ada yang mampu menghentikan langkahku untuk tetap datang ke biara, walaupun Tuhan kami berbeda. Setiap kali rindu rumah, akan selalu lebih baik berdiam di dalam biara hingga hati terasa tenang. Lagi pula, setiap doa akan bermuara ke satu tempat yang sama bukan?
Roda-roda doa di dinding luar kuil mengundang setiap orang untuk ikut memutarnya. Mantra on mani padme hum tertulis di permukaan besi kuningannya, diharapkan mampu memurnikan hati setiap pemutarnya.
Puluhan kambing memenuhi jalan depan kuil sore itu. Griva berdiri paling belakang dengan dua ekor kuda masing-masing di kedua tangan. Gerakan wanita paruh baya itu cekatan dan tubuhnya tetap tegak walaupun memanggul kayu-kayu kering untuk bahan bakar dapur penginapannya.
“Namaste,” sapaku sambil bersandar di dinding luar kuil ketika Griva melewatiku.
Wanita itu tidak menjawab. Malah melirik tidak suka sambil mengerucutkan bibir. “Berdoa apa kau hari ini? Rindu rumah lagi?” tanyanya dalam Bahasa Inggris patah-patah. Bertahun-tahun mengelola penginapan untuk pendaki dari seluruh dunia turut melatih kemampuan berbahasanya.
Aku menyambar kantong kain di tangan Griva. Sekilas aku bisa melihat jamur hasil petikannya. “Rumahku di sini, Griva.”
“Kau terlalu cantik untuk tempat kecil ini, Adara!” protes Griva sambil mengacungkan tangannya ke atas, membuat satu tali kekang kudanya terlepas, dan aku terpaksa meraihnya.
Kuda hitam itu sempat mengikik pelan dan langsung diam begitu tanganku mengelus kulit di antara kedua matanya. “Kenapa kau selalu protes, Griva? Padahal aku tidak pernah terlambat membayar uang sewa.”
Setahun belakangan salah satu pondok milik Griva di Braga sudah menjadi rumah tinggalku. Hanya sebuah rumah sederhana di atas bukit. Menghadap tepat ke puncak Ganggapurna dan Annapurna II, membuat angin malam kadang bertiup kencang dan udara lebih dingin daripada perkampungan Manang di bawahnya. Namun, bagiku tempat ini sempurna. Braga lebih tenang, dan kesunyian adalah sesuatu yang kucari-cari belakangan.
“Di mana Imay?” tanyaku demi mengalihkan pembicaraan ini. Aku tidak ingin Griva kembali meluncurkan nasihat panjangnya kepadaku.
Sekarang decakan tidak suka dari mulut Griva jadi makin keras begitu nama cucu lelakinya kusebut. “Entahlah. Dia mungkin sedang menggosok sepatu orang-orang yang datang tadi pagi. Kusuruhnya belajar, malah dia bersikeras mencari uang. Sudah kukatakan aku yang akan memberinya uang segepok, malah dia berani membantah. Aku ingin dia jadi pengacara di Kathmandu, Adara! Kenapa dia malah ingin meneruskan penginapan bobrok itu!”
“Imay lebih suka ada di sini, Griva.”
Pembelaanku malah memperpanjang kalimat-kalimat Griva. Mulutnya tidak bisa berhenti protes, sementara aku hanya membisu sambil berharap ocehannya segera berhenti. Kalau saja dia bukan induk semang paling baik hati di Himalaya, aku pasti tidak sesayang ini kepadanya.
Griva sudah kuanggap seperti ibuku sendiri semenjak aku datang ke sini. Dia punya dua penginapan, masing-masing ada di Manang dan Braga. Selama ini dia tinggal bersama dua orang pegawainya untuk menjalankan bisnisnya. Sementara Imay, cucu lelakinya kuliah di Kathmandu. Hanya pulang ketika liburan semester.
“Sudah kukatakan kepadanya jangan pernah pulang ke sini kalau dia belum bekerja di firma hukum besar. Masih saja dia pulang, malah membawa teman-temannya ke sini. Ditolaknya tawaran bekerja bersama profesornya semasa liburan, malah berkelakar ingin membuka kantor travel di Pokhara bersama temannya yang lain. Sudah kubilang dia terlalu bagus untuk tempat ini. Kau dan Imay sama saja, kalian menyia-nyiakan masa muda dengan tinggal di sini. Lihatlah Batsa! Sudah tiga puluh dan masih belum menikah. Tadi pagi aku bertemu dengannya ….”
“Batsa?” potongku begitu nama itu muncul di antara kalimat-kalimat Griva. “Batsa ada di sini?”
Griva mengangguk. “Datang tadi siang bersama lima orang Jerman. Mereka menginap di Manang.”
“Di penginapanmu?”