Adara
Rasanya sulit percaya, seseorang yang pernah menganggap pekerjaan adalah suaminya, menjadikan kelab malam sebagai hobi selepas pukul lima sore, dan meletakkan lelaki sebagai selingan di antaranya akan mengenakan gaun pengantin dan siap melangkah ke altar sebentar lagi.
Mataku terasa panas memandangi Mika begitu cantik dengan senyum mengembang di bibirnya. Setetes air mata jatuh di atas rangkaian bunga kecil di tanganku, satu tanganku lainnya memegang buket bunga milik sang pengantin.
Rasanya baru kemarin aku menyaksikannya berjuang begitu gigih mencapai Puncak Trianggulasi Gunung Merbabu dengan Aji menarik-narik kain jaketnya agar mereka terus bergerak. Rentetan protesnya dan omelan Aji hari itu masih terngiang jelas di telingaku. Siapa menyangka pertemuan mereka dua tahun lalu bermuara ke hari ini?
“Eh, jangan nangis! Make up-nya luntur nanti.”
Aku menolak uluran jemari Mika untuk menyeka air mataku dan melakukannya sendiri dengan punggung tangan.
“Cengeng banget, sih!” ejeknya pelan.
Aku merapikan veil di belakang punggungnya dan meletakkan buket bunga di telapak tangannya. “Aji kayak dapat durian runtuh kalau pengantinnya secantik ini.”
“You too look stunning.” Mika menggenggam jemariku antusias. Tangannya terasa dingin karena gugup, tetapi ia berhasil menyembunyikannya di balik senyumannya. “Aku pikir Batsa terlambat kirim undangannya, aku pikir kamu enggak akan datang.”
“I won’t miss it for the world, Mika.” Setelah mengurus uang sewa dan memastikan Griva menjaga pondokku selama aku pergi, aku kembali bersama Batsa ke Beshisar dan naik bus paling cepat ke Pokhara untuk mengejar penerbangan berikutnya.
Rasanya aneh setelah meninggalkan Indonesia setahun lamanya. Semuanya terasa sama. Seolah aku tidak pernah pergi, dan karena Braga adalah rumah keduaku, meninggalkannya juga tidak seperti sedang ke mana pun.
“Aku kangen,” sekarang gantian air mata yang menggenang di pelupuk mata Mika. Aku sigap mengambil tisu dan mencegah air mata merusak riasannya. Kami berpelukan cukup lama sampai kedua orangtua Mika memperingatkan bahwa sudah saatnya berangkat ke gereja.
“Semesta,” ucap Mika pelan, kepalan tangannya di jemariku berubah lebih erat. “dia akan jadi best men-nya Aji. Maaf, aku lupa kasih tahu kamu.”
Satu sudut bibirku terangkat. Aku mengelus punggung tangan Mika dan melepaskannya dari jemariku. “Aku tahu. Dia sahabat Aji, tentu saja dia harus jadi best men.”
Melihat ketenangan dan senyumanku, kerutan di dahi Mika mengendur dan kekhawatiran di wajahnya sirna. Perkataan singkatku seperti baru saja mengangkat beban berat di pundaknya.
Aku tidak akan melewatkan pernikahan Mika walau badai metor menghantam bumi sekali pun. Meskipun itu artinya aku harus menghadapi masa lalu.