Semesta
Di hari ketika aku turun dari Gunung Slamet bersama tim SAR, aku lihat punggung Adara. Aku bersumpah itu dia. Aku kenal setiap gerakan tubuhnya. Tangan Adara selalu mengayun keras ketika ia berjalan sambil marah. Apa alasannya marah waktu itu? Aku juga enggak paham.
Mulutku tentu masih berfungsi sepenuhnya walaupun aku terbaring di tandu SAR. Meskipun begitu aku enggak ada daya buat memanggil namanya seiring punggungnya makin jauh. Mendadak rasa sakit di tulang tanganku hilang, digantikan rasa sakit dalam dada. Adara masih peduli kepadaku. Apa yang membuatnya mau jauh-jauh datang menghampiriku kalau bukan karena aku? Namun, mulutku terkatup dan lagi-lagi, untuk kali kesekian, aku menyia-nyiakan kesempatan di depan mata.
Adara selalu menghampiriku. Waktu itu pun, dia datang untukku. Walaupun pada akhirnya ia memilih pergi, tetapi aku senang Adara masih peduli. Kenapa diriku gagal mempertahankan wanita sebaik itu?
Namun, lebih baik begini. Adara akan terus menangis kalau bersama seorang lelaki sepertiku. Aku sudah terlalu banyak mengecewakannya.
“Mas Semesta! Mas!”
Panggilan samar itu menarikku dari kegelapan. Langit telah gelap sepenuhnya. Hujan telah berhenti. Walau udara lembap, sinar rembulan bersinar terang, menjadi satu-satunya cahaya di tempat ini.
Tunggu, aku di mana? Tubuhku bergeser, seketika nyeri menjalar sampai ke seluruh persendianku. Aku mengerang kesakitan.
“Mas Semesta.” Suara parau itu kembali memanggilku.
Pikiranku kacau menggapai ingatan terakhirku. Hingga kilasan-kilasan memori itu datang cepat menyadarkanku.
Banda.
Begitu mataku bisa beradaptasi dengan sedikit cahaya dari sinar bulan, aku mencari-cari pemuda itu. Terakhir kali kuingat kalau ia mati-matian memutus tali karmentel yang mencekik jalan napasnya.
“Mas.” Kupingku bedengung, tetapi aku berusaha menangkap suara parau itu sekali lagi.
Banda bersandar lemah pada sebuah batang pohon enggak jauh dari tempatku. Aku bangkit, menahan mati-matian rasa sakit di persendianku.
“Banda!” seruku panik. Seluruh tubuh dan pakaiannya basah. Tangan kirinya menggantung dalam posisi aneh. Aku mencoba memeriksanya dan erangan keras keluar dari mulutnya. Tulang tangannya patah.
“Kantong sebelah kanan, Mas. Ada ikat kepala,” katanya parau.
Aku segera merogoh kantong celananya dan menemukannya. Segera kuikat ujungnya di leher Banda, dengan hati-hati kugantungkan tangannya di dekat dada agar enggak terlalu banyak bergerak.
“Ada luka lain?”
Banda menggeleng lemah. Matanya menatap ke atas mataku. “Kamu berdarah.”
Tangaku meraih kening, kurasakan basah dan sedikit pening. “Paling cuma terbentur batu,” ujarku berusaha menghiraukan rasa pening di kepala.
Aku enggak tahu kami di mana. Pasti ini ada di dasar Sijeding. Angin bertiup lebih kencang di sini. Aku mencoba membantunya duduk dan bersandar lebih nyaman. Banda mengerang kesakitan setiap kali lengannnya terbentur dan terlalu banyak bergerak.
“Kita di mana Mas?” tanya Banda.
“Pasti Sijeding. Sudah berapa lama aku enggak sadar?” Kabut menutupi dasar Sijeding, membuat suhu udara jatuh lebih dingin.
“Sejak kita jatuh. Aku coba panggil kamu terus.”
Bibir Banda bergetar kedinginan, giginya saling bergemeletuk. Enggak ada ranting, atau tumbuhan apa pun di dasar Sijeding. Makin otakku berpikir keras, kepalaku terasa makin sakit. Seenggaknya aku harus membuat api untuk menghangatkan diri.
Aku melepas jaket parasut yang melindungi tubuh. Kainnya masih sedikit basah. Aku kibaskan beberapa kali untuk menghilangkan sisa-sisa air, semoga sebentar lagi bisa kering. Lalu melingkarkannya di tubuh Banda.
“Kalau aku pakai ini kamu pakai apa, Mas?”
Udara makin dingin. Kami harus menemukan cara bertahan sebelum malam makin membuat suhu jatuh makin dekat ke titik beku.
“Aku duduk samping kamu. Kita menghangatkan diri sama-sama.”