Adara
Kami adalah dua jalinan akar saling bertaut dalam waktu singkat. Jeratannya sangat mematikan. Hingga kami memutuskan untuk menguraikannya tepat sebelum ia memilin makin kuat. Memisahkan kedua akar kembali ke buminya masing-masing, menjadi tak lebih dari dua hati dengan luka bekas belitan.
Matahari bersinar terik di atas pucuk-pucuk daun pepohonan. Tanaman paku di sisi jalan setapak jalur pendakian Gunung Arjuna masih meneteskan air hujan dari badai semalam. Bau tanah basah bercampur dengan wanginya bunga kopi dari perkebunan warga di lereng gunung. Seluruh hutan masih lembap dan dingin, tetapi matahari terik di atas langit akan menguapkannya sebentar lagi.
Kakiku tidak menyerah meniti setapak demi setapak jalan yang didominasi bebatuan dan akar pohon. Sejauh mata memandang, jalan itu terus menanjak tanpa ada tanda-tanda dataran landai. Sesekali punggungku terasa berat, meronta karena aku paksa memanggul beban belasan kilo dalam tas. Peluhku bercucuran, paru-paruku terbakar.
Batu-batu besar di depanku membentuk tangga alami. Melihatnya saja membuatku kembali mendesah putus asa. Aku tahu ini belum apa-apa, di depan jalur akan lebih menanjak.
Kakiku melangkah bersama dua trekking pole di tangan. Belum juga tuntas satu langkah, rasa nyeri tiba-tiba menjalari seluruh betis dan kaki.
“Arrrggghhh!!” erangku seketika melemparkan trekking pole dan terduduk kesakitan di atas bebatuan.
“Adara!” Semesta buru-buru berlari menghampiri dari bawah sana. Tas carrier di punggungnya bergerak mengikuti langkah paniknya. Lelaki itu kemudian duduk di sampingku kebingungan. “Kamu kenapa?”
“Kram,” kataku kesakitan seraya menunjuk betis.
Semesta membantuku melepas tas carrier di punggung lalu meletakkannya di samping kami. Ia meluruskan kakiku, melepas sepatuku dan buru-buru menarik jempol kaki ke arah tubuhku, sementara tangan lainnya cekatan memijat betisku.
“Sakit!”
“Minum!” perintah Semesta sambil mengedikkan dagunya ke sebuah botol minum di samping tas kami. Aku menurutinya.
Dua orang pendaki berjalan dari bawah. Mereka berhenti melihat kami di tengah-tengah jalan setapak.
“Butuh bantuan, Mas?” tawar salah seorang dari mereka.
Semesta menggeleng. “Cuma kram saja, Mas.” Setelah saling mengucapkan salam, mereka meninggalkan kami berdua.
“Malu-maluin saja. Pake kram segala,” gerutu Semesta. Aku tahu dia tidak sungguh-sungguh.
“Aku juga enggak minta ini.”
“Makanya olahraga,” sahut Semesta.
“Kerjaanku di Braga sudah naik turun bukit.”
“Kurang,” komentar Semesta singkat.
Rasa sakit di betisku berangsur hilang. Walau rasa nyerinya tidak sepenuhnya sirna. Betisku kini jadi lebih berat dari sebelumnya. Semesta masih memijat kakiku sabar. Aku tahu harusnya ia bisa berhenti sekarang, tetapi sengaja kubiarkan jemarinya lebih lama di sana. Memberiku alasan agar bisa menunduk memandangi puncak kepalanya. Rambut gondrongnya ia kuncir asal dengan karet gelang. Peluh juga membasahi keningnya.
Aku ingin menyeka keringatnya. Tanganku sudah hampir terangkat, tetapi buru-buru kubatalkan.
“Sudah mulai hilang sakitnya.” Aku berucap berat, menyadari Semesta akan kembali menjauh setelah ini.
Namun, aku ternyata salah. Semesta masih melanjutkan pijatannya untuk beberapa saat lamanya, sampai dia yakin aku telah cukup mendapatkan perawatan. Ia menyeka peluhnya lalu baru melepas tas carrier-nya sendiri dan duduk agak di bawahku. Baru kusadari ia tidak sempat melepaskan tas beratnya ketika aku kesakitan tadi.
Semesta selalu seperti itu. Bersamanya membuatku merasa menjadi lebih penting dari dirinya sendiri.
“Istirahat dulu, deh. Sebat, ya.” Semesta menyalakan sebatang rokok dan mulai menyesapnya dengan khidmat. Aku memandangi punggungnya. Hutan kembali sepi, hanya ada kami. Namun, rasanya jarak kembali membumbung naik lebih nyaring memekakkan telinga daripada suara kicauan burung dari kedalaman hutan.
Sore itu kami sampai di Kop-Kopan, pos pertama pendakian Gunung Arjuna lewat jalur Tretes. Kami tidak mengejar puncak di perjalanan ini. Aku dan Semesta hanya ingin ke tempat ini, tempat di mana setiap rumput ilalang dan jejak tanahnya menyimpan kenangan kami.
Aku sudah menebak Semesta akan memilih bukit dekat sumber mata air sebagai tempat kami mendirikan tenda. Tempat ini tidak banyak diketahui pendaki karena letaknya tersembunyi di atas Kop-Kopan dan jalannya tertutup ilalang lebat. Dari bukit ini kami bisa melihat pendaki-pendaki istirahat dan tenda didirikan di bawah.
Dingin segera saja merambati seluruh tubuh sewaktu matahari makin jatuh ke peraduannya. Semesta mengumpulkan kayu bakar sementara aku memasak untuk kami berdua. Walau sebenarnya masakan Semesta paling layak dimakan dibanding masakanku.
“Menyerah saja! Aku enggak apa-apa kok tanpa api unggun,” kataku di atas penggorengan ayam dan minyak yang menggelegak. Semesta masih belum menyerah dengan upayanya. Ia hanya bisa menemukan sedikit sekali kayu kering dan ilalang, tetapi ia masih saja berusaha membuat api unggun demi mengusir dingin.