Udara dingin di kaki gunung merambat masuk ke dalam rumah. Tubuh Banda sedikit bergetar merasakan dingin dari lantai berplester semen menembus alas tikar yang didudukinya. Sekian lama tidak berkawan dengan alam membuatnya lupa betapa dinginnya udara pegunungan.
Rumah di kaki gunung ini menempati sepetak kecil tanah, tepat di bawah pintu pendakian Gunung Merbabu di Desa Selo. Sebuah warung makan kecil di depannya jadi persinggahan beberapa orang pendaki untuk mengisi perut. Di ruang tamu tanpa perabot ini pula, beberapa orang pendaki sedang beristirahat menggelar kantong tidur.
Tidak seperti mereka, Banda kemari bukan untuk mendaki. Ada hal lain yang perlu dilakukannya, satu hal terakhir yang terus ia tunda sejak bertahun-tahun lalu.
Seorang wanita paruh baya menyuguhkan segelas teh manis hangat. Ia buru-buru menyampirkan jilbab panjangnya ke bahu ketika ujung kainnya menyentuh lantai. “Silakan diminum, Mas.”
Banda mengangguk dan segera meneguk teh hangat di hadapannya.
“Bapak sedang ke Semarang buat jemput tamu. Kira-kira nanti datang habis magrib.” Tanpa diminta wanita itu memberikan keterangan tambahan.
Tahun-tahun berlalu pula telah menaikkan status orang yang ditunggunya itu dari mas menjadi bapak. Banda baru sadar waktu memang sudah lama berlalu sejak ia bertemu dengannya.
“Ibu sudah lama tinggal di sini?” tanya Banda penasaran. Ia ingin tahu lebih banyak.
“Ibu memang asli Selo. Lahir dan besar di desa ini. Suami sudah meninggal waktu masih muda dulu. Terus waktu bapak datang dan beli rumah ini. Karena tahu ibu nganggur, dan anak masih kecil-kecil, ibu disuruh buka warung di depan rumahnya,” ceritanya panjang lebar lalu menunjuk ke arah warung depan rumah.
Sejenak Banda memandangi warung kecil dari dalam rumah. Warung itu, tempat yang terasa akrab baginya sejak beberapa tahun lalu lewat tulisan seseorang. Di bawahnya Kota Boyolali terhampar seperti sebuah kota di lembah.
“Saya tunggu di sini ya, bu.”
Wanita di hadapannya kelihatan ragu sejenak sebelum wajahnya kembali dihiasi senyum. “Monggo, Mas. Istirahat saja dulu. Kalau kena macet, bapak bisa datang terlambat. Kalau butuh apa-apa saya ada di depan.”
Banda memang harus menanti lebih lama hari itu. Ia pikir bisa cepat menyelesaikan urusannya, lalu langsung kembali ke Semarang di hari yang sama. Namun, orang yang ditunggunya baru muncul lewat pukul sembilan malam.
Sebuah mobil elf memasuki halaman pekarangan rumah. Belasan pendaki bergantian turun. Seseorang dari balik kemudi cekatan membanting pintu mobil dan langsung menurunkan tas-tas carrier yang diikat jadi satu di atap mobil.
Orang itu, pikir Banda, bisa memilih tempat mana pun dan mendirikan vila paling nyaman, lalu berdiam sampai ajal menjemput tanpa harus ongkang-ongkang kaki buka jasa antar jemput pendaki seperti ini. Namun, malah dipilihnya kesederhanaan, kesunyian, dan keterasingan di bawah gunung.
Mereka memang satu, memilih jalan yang sama sejak awal.
“Banda!” Ada nada keterkejutan lewat caranya menyebutkan nama Banda. Ia hanya mematung di depan mobilnya sekian lama, hingga Banda sendiri harus berjalan menghampiri dan mengulurkan tangannya untuk dijabat.
“Hai, Mas Semesta. Apa kabar?”
Semesta menyambut uluran tangan itu ragu. Namun, Banda masih merasakan jabatan tangannya tetap keras dan tangguh.
“Kapan datang?”
“Tadi sore,” jawab Banda santai. Beberapa kerutan menghiasi daerah sekitar mata lelaki di depannya. Waktu menempa dan mengukir setiap kerutannya.
“Ayo, masuk!” ajak Semesta kembali masuk ke dalam rumah sederhananya.
Namun, Banda lebih memilih kursi di depan warung. Ruang tamu Semesta sekarang sudah dipenuhi pendaki dan suara musik keras dari pelantang ponsel mereka. Di tengah udara dingin kaki Gunung Merbabu akhirnya mereka menghabiskan malam dengan mengobrol.
“Mas Aji titip salam,” kata Banda asal.