Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #2

Doa Dalam Eksistensi Nama

MALAM ini hawa terasa cukup panas. Tanpa sadar aku terbangun di atas sebuah sajadah berwarna hijau muda pemberian Almarhum kakek dengan wajah lumayan basah diguyur keringat. "Astaghfirullah!" gumamku beristigfar, rupanya aku ketiduran selepas melakukan wirid ba'da sholat Isya. Aku sangat kelelahan dan capek luar biasa hari ini. Tadi malam, jam dua baru bisa pulang ke rumah setelah melakukan diskusi intens dengan beberapa teman kuliah antar prodi sambil nyari referensi untuk penyelesaian tesis. Biasanya aku memang menyempatkan sholat berjamaah di musholla ketika Shubuh, Maghrib dan Isya. Akhir-akhir Dzuhur dan Ashar juga selalu tidak punya waktu luang berjamaah karena sibuk di luar untuk urusan tesis tapi kalau sempat, pasti akan nyari mesjid buat menunaikan sholat berjamaah.

    Selain mengejar S2, sekarang kadang juga sibuk nyari nafkah dan tambahan hidup seperti memberi kuliah dan ceramah di mesjid-mesjid atau instansi. Aku juga rutin menulis essai, makalah, naskah ontologi lalu mengirimkannya. Aku telah menelurkan beberapa buku yang alhamdulillah beberapa diantaranya menjadi bestseller. Karya tulisku yang telah diterbitkan dan dibukukan seperti "Ilmu Antara Mekah dan Madinah : Esoterism Of Hadist.", "Al Furqan : Torah and Qur'anic Essenstial dan "Intens Bersinergi Dengan Al-Qur'an : Manusia Paripurna."

Alhamdulillah selama ini aku memang produktif menulis dan semua tulisanku sebagian besarnya lewat pendekatan yang bersifat interdisipliner—sesuai dengan minat studi dan disiplin ilmu yang kutekuni di akademi yakni perbandingan agama. Aku suka aktifitas menulis sebagaimana Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sendiri pernah bersabda : "Ikatlah ilmu dengan tulisan". Berangkat dari semangat dalam hadist Nabi itu lah, aku menyemai ilmu dengan tulis menulis dan oleh karena itu pula syukur kepada Allah bisa jadi lumbung penghasilan, aku bisa membiayai kuliahku sekarang ini serta sudah bisa menaik haji kan ayah setahun yang lalu. Ayahku adalah seorang mantan pengayuh becak yang biasa mangkal di pasar Teluk Dalam Banjarmasin, sekarang beliau tinggal bersama bibiku, adik paling bontot ayah di Kalimantan Tengah. Beliau sedang mengurus cucu-cucu beliau, anak dari adik sepupuku. Sementara ibuku, meninggal ketika aku kelas 4 SD karena penyakit leukimia.

    Sementara Aku tinggal sendiri di kota Banjarmasin demi menyelesaikan kuliah. Menyewa sebuah rumah petak di daerah Handil Bhakti dengan uang sewa enam ratus ribu per bulannya, cukup murah. Dan akhir-akhir ini aku sedang sibuk gencar menyelesaikan tesis untuk magisterku. Aku mengambil program studi pascasarjana Akhlak dan Tasawuf di fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin. Sebelummya aku juga menyelesaikan sarjana di fakultas yang sama untuk jurusan studi agama-agama (Comparative Studies of Religions) dan lulus dengan Summa Cumlaude. Indeks prestasi kumulatif atau IPK ku adalah 4.00, merupakan yang tertinggi. Aku merampungkan S1 dengan skripsiku saat itu berjudul "Kajian Hermeunetik Frasa Hudan Dalam Al Baqarah 38 dan intertekstualitasnya dengan Kitab Kabbalist, Sefer HaRazim Hamalakh."

    Untuk tesis S2 ku sekarang ini aku mengambil topik ontologi konsep kosmik dalam ketiga puluh sembilan jilid kitab Al Futuhat Al Makkiyah, sebuah karya Magnum Opus dari sufistik terkenal abad ke-12 Syeikh Al Akbar Ibnu Arabi.  

  Setelah terbangun, aku langsung merapikan sajadah, tasbih, lalu berganti pakaian. Waktu telah menunjukan pukul delapan lewat lima belas menit. Aku baru saja ingat ini malam kamis. Malam dimana aku rutin ke tempat guruku, KH. Abdulhaq untuk mudzakarrah langsung dengan beliau. Ini memang telah menjadi kebiasaan dan rutinitasku tiap dua kali dalam seminggu, belajar langsung di rumah beliau yakni pada rabu malam dan malam minggu atau sabtu malam.

    Sembari berganti pakaian koko dari yang warna putih yang biasa aku pakai untuk ibadah sholat—ke baju koko berwarna biru gelap—aku memikirkan tentang mimpi yang baru saja aku alami. Padahal tadi ... rasanya aku hanya tertidur sebentar, mungkin sekitar dua puluh menitan, tapi wajahku basah oleh aliran keringat. Aku kembali mengingat-ingat mimpi barusan. Dalam mimpi itu, aku serasa melihat sosok gagah berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak juga rendah. Wajahnya tidak terlalu nampak, yang kuingat hanya cahaya terang, sangat terang, terasa hangat dan begitu indah, memancar dari setiap jengkal wajahnya. Saat itu, aku ingat lelaki itu memakai gutrah berwarna hijau. Gutrah adalah penutup kepala khas orang-orang arab dan timur tengah pada umumnya.

    "Apa tadi itu baginda Rasulullah?" gumamku bertanya-tanya dan berasumsi. Toh mimpi tersebut terjadi tepat selepas aku menunaikan sholat.

    "Ah, tidak mungkin!" Aku nafikan kembali pikiran itu. Bukannya tidak percaya terhadap cerita dimana Rasulullah kadang bisa menemui umat kesayangannya via mimpi. Sudah banyak contohnya. Almarhum Habib Munzir Al Musawwa Rahimahullah misalnya, konon hampir tiap malam bermimpi bertemu sang kekasih hati, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.

    Aku tidak pernah skeptis maupun meragukan sedikit pun tentang keistimewaan semacam ini. Namun aku hanya berpendapat tidak mungkin orang sepertiku mendapat kebaikan sebesar itu, dijumpai oleh sang manusia paripurna ... Nabi Muhammad sang kekasih ilahi, pujaan hati tiap insani.

    Aku rasa mimpi tadi hanya sebatas bunga tidur biasa yang tidak memiliki arti apa-apa.

    Aku bersiap untuk keluar rumah, berangkat menuju rumah guruku. Waktu telah menunjukan pukul delapan lewat dua puluh tujuh menit. Biasanya aku tidak pernah setelat ini. Selepas Isya jam delapan lewat sepuluh aku biasanya sudah berada di rumah beliau dan pulang pukul sepuluh malam tepat. Aku juga memperhatikan kesehatan dan kemaslahatan tubuh guruku itu yang sudah lumayan tua dan sepuh, usia beliau kira-kira sekitar 68 tahun sekarang ini.

    Dua jam mudzakarrah bersama beliau, itu lebih dari cukup! Sebenarnya aku ingin satu jam saja biasanya tapi kata beliau tidak apa-apa. Dua jam penuh yang berharga. Total kurang lebih empar jam setiap minggunya—aku yang Al fakir ini berkesempatan menimba ilmu dari salah satu sumber ilmu. Alhamdulillah terima kasihku kepada Allah. Sebagai tholibul ilmi aku selalu bersyukur masih diberi kesempatan dalam pencarian tiada akhir. Sebagaimana doa yang sering aku panjatkan selepas sholat Shubuh seperti yang diajarkan oleh baginda Rasulullah, diriwayatkan oleh Ibnu Majah :

    Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’a, wa rizqon thoyyiba, wa ‘amalan mutaqabbala.

    “Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, dan rizki yang baik.” 

    Aku menutup dan mengunci pintu rumahku. Ketika sedang mengunci pintu, tiba-tiba ada suara seorang perempuan menyapaku. Aku menoleh dan mendapati seorang perempuan berjilbab merah muda tersenyum ke arahku.

    "Mau ke tempat gurumu ya kak Rani?" sapanya dengan ramah dengan suara rendah.

    "Iya. seperti biasa, ini kan rabu malam Ra." Jawabku tersenyum membalas senyumnya.

    Perempuan itu bernama Zahra Fitria, tetanggaku sebelah rumah sekaligus juniorku di Almamater. Ia sekarang sedang menempuh pendidikan S1 di jurusan psikologi Islam. Zahra ini merupakan putri kedua dari H. Iskandar Mukhtar, guru Mts sekaligus guru ngajiku sewaktu kecil dulu. Jujur saja kukatakan bahwa aku pun menaruh perasaan kepada Zahra ini. Dia anak yang sholehah, baik, sopan, dan berparas cantik. Siapa yang tidak akan jatuh hati dengan perempuan berkualitas seperti Zahra? Sebagai tetangga, kami memang cukup akrab.

    "Aku senang dengan pemuda rajin sepertimu kak Rani." Pujinya.

    Senyum indah dan kata-katanya barusan, membuatku malu namun tak kupungkiri juga memberi kesan bahagia. Zahra sebagaimana anak-anak lain di kampus, juga memanggilku dengan panggilan Rani. 

    Namaku adalah Ahmad Rizalul Qur'ani, dan bagiku aneh saja ketika dipanggil Rani oleh kebanyakan orang, bukankah umumnya itu nama bagi wanita atau perempuan? Penyebutan namaku menjadi "Rani" ini anehnya sudah terjadi semenjak aku berada di bangku sekolah dasar, lalu berlanjut ke SMP dan juga kemudian SMA. Kan bisa saja aku dipanggil Ahmad, Rizal (ini yang paling potensial sebenarnya) atau Alul, tapi kenapa malah dipanggil Rani? Entah apakah aku harus marah dengan orang-orang yang selama ini memanggilku Rani dan apakah marahku itu karena namaku sengaja diubah menjadi nama anak perempuan atau marah karena mereka kurang menghargai dan kurang ajar terhadap nama Qur'ani itu sendiri. Malah ketika SD dahulu, aku pernah berkelahi dengan seorang teman sekelas hanya karena masalah nama ini.

   "Kak Rani kapan-kapan bisa ya, mudzakarah bareng sama Zahra terkait ulumul Qur'an." Ucap Zahra tak segan.

   Ya Allah! Getaran kuat apa ini. Hati dan perasaan terasa semakin membuncah senang tak terkira. Padahal biasanya cukup sering kok aku mengobrol dengan Zahra, tapi entah kenapa ya malam ini rasanya agak berbeda.

   "Maaf Zahra, bukannya nggak mau, tapi mudzakarrah itu ibarat katarsis dalam perspektif Psikoanalisis. Pendekatan dan pembelajaran yang menyirami jiwa yang haus dahaga—layaknya seorang pasien yang membutuhkan dorongan dan pemantik dari seorang terapis, nah terapis tersebut adalah sang Mursyid itu sendiri—sementara aku kan belum setara Mursyid." Jawabku sembari melempar senyum.

   "Bagiku, kakak adalah tipe lelaki yang bisa menjadi Mursyid bagi keluarga kok. Imam yang baik juga."

    Kembali, kata-kata dan pujian Zahra itu menerbangkanku ke langit malam. Pujian dan ucapan manisnya tak ubahnya sebuah pisau belati yang amat tajam nan berbisa . 

    "Cepat kak pergi, nanti telat loh." Kata Zahra mengingatkan.

    "Lah, benar. Aku jadi lupa kalau harus buru-buru." Gumamku sembari menepok jidat lalu sebentar memanaskan mesin sepeda motor.

    "Hati-hati ya kak Rani!" kata Zahra sembari duduk di tepi teras rumahnya yang tepat berada di sebelah rumah petakku.

"Senang bicara dengan kakak lagi, soalnya akhir-akhir ini kakak terlalu sibuk sih." Timpalnya, Aku hanya mengangguk dan kembali melempar senyum terbaikku.

    Setelah itu aku bergegas menaiki sepeda motorku, sebuah motor matic berwarna putih dengan stiker lafadz Allah dan Muhammad di masing-masing kaca spionnya. Perjalanan dari Handil Bhakti ke Pelambuan kecamatan Banjar Barat lumayan cukup jauh. Paling cepat memakan waktu tiga puluh sampai empat puluh menit, itupun kalau ngebut.

Akhirnya akupun sampai juga di rumah guruku tepat pukul sembilan kurang tujuh menit. KH. Abdulhaq langsung keluar rumah untuk menyambutku dengan senyuman menghiasi wajah teduh beliau. Beliau sudah hapal betul bunyi sepeda motorku ini. Beliau keluar rumah dengan tampilan apa adanya, hanya memakai celana cingkrang putih dan kaos oblong putih polos.

   "Masuk Ahmad!"

KH. Abdulhaq mempersilahkanku. Aku segera meraih tangan beliau lalu kucium dengan penuh takzim. Inilah yang dinamakan adab seorang murid.

   Beliau lah satu-satunya orang yang memanggilku dengan panggilan Ahmad ketika seantero bumi termasuk keluarga dan orangtuaku sendiri bersepakat memanggilku Rani. Beliau lah yang memahami betul kesakralan sebuah nama yang dimiliki seseorang. Lebih tepatnya beliau lah yang memberiku nama ini. KH. Abdulhaq selain adalah guruku, juga sudah lama menjadi guru dari ayahku bahkan sebelum aku lahir. Ketika aku lahir, secara khusus ayahku meminta beliau untuk memberikan sebuah nama untukku. 

   "Tumben sekali kamu jam segini baru datang. Kukira malam ini kamu tidak datang." Ucap beliau.

   "Maaf guru, tadi aku ketiduran selepas sholat Isya." Jawabku sedikit meringis tersenyum.

   "Oh, begitu. Nggak apa-apa, ayo masuk!"

   Aku pun memulai sesi dialog, diskusi dan abreaksi atau mudzakarah bersama KH. Abdulhaq. Aku selalu kagum dengan tutur kata dan penjabaran beliau dalam mengajar dan menjabar ilmu. Penyampaian beliau lugas dan syarat makna. Setiap kata yang terlontar dari mulut beliau, laksana mutiara hikmah yang menempa hati dan sanubari. Apa yang beliau katakan, tidak pernah lepas dari framing Al-Qur'an dan hanya ada Al-Qur'an sebagai dalil primer pengajarannya selain daripada hadist tentunya.

    KH. Abdulhaq adalah seorang pakar Ulumul Qur'an, Ahli Lughah Arab, ahli Tafsir dan seorang sufi yang menurutku luar biasa. Metode tafsir dan pandangan-pandangan beliau selalu esoterik dan impresif. Beliau juga memiliki banyak jemaah lintas usia. Pengajian atau majelis rutin beliau bersama para jemaah diadakan pada selasa malam atau malam rabu di rumah beliau. Kadang kalau sempat, aku juga biasa menghadiri majelis beliau namun aku lebih senang mudzakarah secara pribadi seperti ini, lebih intens.

    Tarekat beliau ini tidak terafiliasi dengan tarekat besar sufi manapun seperti Naqsyabandiyah ataupun Qodiriyah, bisa dikatakan sebuah tarekat independen dan tersendiri. Walaupun begitu, transmisi sanad keilmuan KH. Abdulhaq juga jelas bahkan tersambung ke Sunan Kalijaga dan sampai pada para Imam cucu dan cicit Nabi seperti Muhammad Al Baqir, Ali Zainal Abidin, Husein bin Ali, Ali bin Abi Thalib dan akhirnya ke baginda Nabi besar Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.

    Aku menaruh takzim dan kekaguman yang besar terhadap KH. Abdulhaq. Bagaimana akhlak bicara beliau, kelugasan ilmu beliau dan sudut pandang episteme beliau terhadap berbagai fenomenologi ayat baik kauniyah maupun kauliyah. Hati ini serasa sejuk, tenang dan senang setiap kali memandang wajah beliau. Aku berpikir, ini baru kerinduan dan kasih sayang terhadap salah seorang dari orang soleh yang Arifbillah saja. Lantas, bagaimana beruntung dan berkhidmatnya para sahabat dahulu kala yang bisa merasakan sezaman dengan baginda Rasul. Bisa melihat, memandang dan belajar langsung dengan junjungan mulia, kekasih Allah ta'ala. 

    Pada mudzakarah kali ini, aku dan guruku digiring pada pembahasan tentang Al-Ism atau nama dari sang khalik, yaitu Allah Swt. Beliau mengatakan bahwa dalam frasa bismillah yang menjadi mukkadimah dari ke 114 surah Al-Qur'an kecuali Surah Al Barrah atau At Taubah karena merupakan surah perang, terdapat rahasia agung tentang penyertaan Tuhan dan penjagaan Tuhan terhadap hamba-hambaNya.

   "Bismillah ... adalah suatu pernyataan tentang pengikutsertaan nama-Nya dalam setiap aspek yang dilakoni manusia. Ma'Asmihi ... beserta nama-Nya." Terang KH.Abdulhaq dengan gurat serius di wajah.

   "Apakah itu manifesto dari suatu tingginya kedudukan seorang hamba guru? Qaus as-Su'udi. Ekspresi tentang mikro yang satu kesatuan dan merupakan bagian dari yang makro atau wahidiyyah (the Oneness) secara definitif?" tanyaku.

Lihat selengkapnya